Rabu, 19 November 2025

Pertama, Orang yang sudah sangat tua dan tidak sanggup berpuasa.

Orang yang sudah sangat tua, baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak sanggup lagi menjalankan puasa, maka tidak terkena tuntutan berpuasa. Ia mendapatkan rukhshah mengganti puasa yang ditinggalkannya dengan membayar fidyah.

Menurut Syekh Zakariyya al-Anshari dalam kitabnya yang berjudul “Asna al-Mathalib”, batasan untuk “tidak sanggup berpuasa” di sini adalah sekiranya jika dipaksakan berpuasa, maka menimbulkan “masyaqqah” atau sesuatu yang sangat memberatkannya.

Orang dalam jenis kategori ini tidak terkena tuntutan mengganti (qadha’) puasa yang ditinggalkan akan tetapi diganti dengan tebusan membayar fidyah.

Kedua, Orang yang sedang sakit parah dan tidak ada harapan untuk sembuh.

Orang yang sedang sakit parah dan tidak ada harapan untuk sembuh, jika ia tidak sanggup berpuasa, maka ia diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Sebagai ganti atas puasa yang ditinggalkannya, ia mendapatkan rukhshah untuk membayar fidyah sebagai tebusan atas kewajiban puasa yang ditinggalkannya serta tidak mengqadha’ puasa dikarenakan tidak adanya harapan untuk sembuh.

Syekh Sulaiman al-Bujairami dalam kitab “Tuhfah al-Habib” menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “tidak ada harapan untuk sembuh” adalah adanya keputusan dari dokter yang menanganinya atau kondisinya memang terlihat sangat lemah.

Maka dari itu, batasan untuk “tidak mampunya berpuasa bagi orang yang sakit parah” adalah sekiranya apabila ia berpuasa maka akan mengalami kepayahan (masyaqqah) disebabkan kondisinya yang sedang sakit parah.

Orang dalam kategori ini hanya wajib membayar fidyah, tidak ada kewajiban puasa, baik ‘ada’an (dalam bulan Ramadan) maupun qadha’an (di luar Ramadan).

Namun, jika orang yang sakit parah tersebut masih diharapkan sembuh, maka ia tidak terkena kewajiban fidyah. Ia diperbolehkan tidak berpuasa apabila mengalami kepayahan dengan berpuasa, namun berkewajiban mengganti puasanya di kemudian hari ketika sudah sembuh.

Komentar