Orang yang sudah sangat tua, baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak sanggup lagi menjalankan puasa, maka tidak terkena tuntutan berpuasa. Ia mendapatkan rukhshah mengganti puasa yang ditinggalkannya dengan membayar fidyah.
Orang yang sedang sakit parah dan tidak ada harapan untuk sembuh, jika ia tidak sanggup berpuasa, maka ia diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Sebagai ganti atas puasa yang ditinggalkannya, ia mendapatkan rukhshah untuk membayar fidyah sebagai tebusan atas kewajiban puasa yang ditinggalkannya serta tidak mengqadha’ puasa dikarenakan tidak adanya harapan untuk sembuh.
Maka dari itu, batasan untuk “tidak mampunya berpuasa bagi orang yang sakit parah” adalah sekiranya apabila ia berpuasa maka akan mengalami kepayahan (masyaqqah) disebabkan kondisinya yang sedang sakit parah.
Namun, jika orang yang sakit parah tersebut masih diharapkan sembuh, maka ia tidak terkena kewajiban fidyah. Ia diperbolehkan tidak berpuasa apabila mengalami kepayahan dengan berpuasa, namun berkewajiban mengganti puasanya di kemudian hari ketika sudah sembuh.
KATA fidyah secara bahasa memiliki arti menebus, membebaskan dan membayar sebagai ganti. Ibnu Manzhur, dalam Lisan al-Arab memaknai kata fidyah dengan "sesuatu yang dibayarkan dalam bentuk harta sebagai pengganti atau ”tebusan”.
Maka dari itu, perintah Allah kepada Nabi Ibrahim AS untuk menebus, membebaskan dan membayar sebagai ganti ketaatan dan kedekatannya dengan Allah yang dilakukan melalui penyembelihan terhadap Nabi Ismail AS sebagaimana terekam dalam Surat As-Shaffat ayat 107, juga menggunakan istilah fidyah:
وَفَدَيْنٰهُ بِذِبْحٍ عَظِيْمٍ ١٠٧
“Kami menebusnya dengan seekor (hewan) sembelihan yang besar”.
Adapun secara istilah syara', Amim al-Barkati dalam at-Ta’rifat al-Fiqhiyah memaknai kata fidyah sebagai berikut:
الفدية اسم من الفداء بمعنى البدل الذي يتخلص به المكلف عن مكروه يتوجه إليه
"Fidyah merupakan sinonim dari kata al-fida' yang artinya sebuah pengganti atau tebusan yang membebaskan seorang muallaf dari sebuah perkara hukum yang berlaku padanya".
Dengan demikian, penggunaan istilah fidyah merujuk pada konteks tebusan, baik itu tebusan atas kesalahan yang telah dilakukan ataupun tebusan untuk pembebasan.
Maka dari itu, di dalam hukum Islam, penggunaan istilah fidyah tidak hanya terbatas pada masalah puasa Ramadan, namun juga digunakan pada peperangan dan haji.
Al-Qadhi Abu al-Hasan Ahmad bin Muhammad al-Mahamili dalam kitabnya yang berjudul "Al-Lubab fi al-Fiqhi as-Syafi'i" mengklasifikasi fidyah menjadi tiga bagian.

Pertama, fidyah senilai satu mud. Kedua, fidyah senilai dua mud. Dan ketiga, fidyah dengan menyembelih binatang. Namun, tulisan ini hanya akan fokus kepada fidyah yang berkaitan dengan ibadah puasa Ramadan, baik yang senilai satu mud ataupun yang senilai dua mud.
Dalam konteks pelaksanaan kewajiban puasa, terdapat beberapa kategori orang yang diwajibkan untuk melaksanakannya. Mereka yang tidak mampu berpuasa, seperti orang sakit atau dalam perjalanan jauh, diperbolehkan untuk tidak berpuasa dan wajib menggantinya (Qadha’) di lain waktu.
Namun, ada juga kelompok yang tidak mampu berpuasa sama sekali, misalnya orang tua atau penderita penyakit kronis yang tidak ada harapan untuk sembuh. Dalam hal ini, mereka mendapatkan keringanan (rukhshah) untuk membayar fidyah sebagai pengganti puasa yang ditinggalkan.
Adapun dasar tentang fidyah dapat dilihat dalam kandungan firman Allah surat Al-Baqarah ayat 184, yang berbunyi:
اَيَّامًا مَّعْدُوْدٰتٍۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ اَيَّامٍ اُخَرَۗ وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهٗ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهٗۗ وَاَنْ تَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ١٨٤
”(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka, siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Bagi orang yang berat menjalankannya, maka baginya membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, itu lebih baik baginya dan berpuasa itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui,”.
Maksud dari "orang yang berat menjalankannya" (يُطِيْقُوْنَهٗ) dalam ayat di atas ditujukan untuk orang-orang tua dan orang yang lemah, apabila mereka tidak mampu mengerjakan puasa kecuali dengan susah payah.
Makna ini sesuai dengan bacaan tasydid, yakni يطوقونه. Artinya, bagi orang yang merasa berat untuk mengerjakannya.
Menanggapi akan hal itu, ada sebuah riwayat dari ‘Atha, sesungguhnya dia mendengar Ibnu Abbas Ra berkata: "Yang dimaksud ayat ini ialah orang tua laki-laki dan wanita, yang keduanya tidak mampu untuk berpuasa, maka ia memberi makan untuk satu hari kepada satu orang miskin". [Dikeluarkan oleh Al-Bukhari di dalam kitab Tafsir].
Kemudian, siapa saja yang mendapatkan rukhshah atau keringanan membayar fidyah sebagai tebusan atas puasa yang ditinggalkannya?

Pertama, Orang yang sudah sangat tua dan tidak sanggup berpuasa.
Orang yang sudah sangat tua, baik laki-laki maupun perempuan, yang tidak sanggup lagi menjalankan puasa, maka tidak terkena tuntutan berpuasa. Ia mendapatkan rukhshah mengganti puasa yang ditinggalkannya dengan membayar fidyah.
Menurut Syekh Zakariyya al-Anshari dalam kitabnya yang berjudul “Asna al-Mathalib”, batasan untuk “tidak sanggup berpuasa” di sini adalah sekiranya jika dipaksakan berpuasa, maka menimbulkan “masyaqqah” atau sesuatu yang sangat memberatkannya.
Orang dalam jenis kategori ini tidak terkena tuntutan mengganti (qadha’) puasa yang ditinggalkan akan tetapi diganti dengan tebusan membayar fidyah.
Kedua, Orang yang sedang sakit parah dan tidak ada harapan untuk sembuh.
Orang yang sedang sakit parah dan tidak ada harapan untuk sembuh, jika ia tidak sanggup berpuasa, maka ia diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Sebagai ganti atas puasa yang ditinggalkannya, ia mendapatkan rukhshah untuk membayar fidyah sebagai tebusan atas kewajiban puasa yang ditinggalkannya serta tidak mengqadha’ puasa dikarenakan tidak adanya harapan untuk sembuh.
Syekh Sulaiman al-Bujairami dalam kitab “Tuhfah al-Habib” menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “tidak ada harapan untuk sembuh” adalah adanya keputusan dari dokter yang menanganinya atau kondisinya memang terlihat sangat lemah.
Maka dari itu, batasan untuk “tidak mampunya berpuasa bagi orang yang sakit parah” adalah sekiranya apabila ia berpuasa maka akan mengalami kepayahan (masyaqqah) disebabkan kondisinya yang sedang sakit parah.
Orang dalam kategori ini hanya wajib membayar fidyah, tidak ada kewajiban puasa, baik ‘ada’an (dalam bulan Ramadan) maupun qadha’an (di luar Ramadan).
Namun, jika orang yang sakit parah tersebut masih diharapkan sembuh, maka ia tidak terkena kewajiban fidyah. Ia diperbolehkan tidak berpuasa apabila mengalami kepayahan dengan berpuasa, namun berkewajiban mengganti puasanya di kemudian hari ketika sudah sembuh.

Ketiga, Wanita hamil dan wanita menyusui.
Wanita yang sedang hamil dan atau tengah menyusui, diperbolehkan tidak berpuasa apabila mengalami kepayahan atas dirinya jika ia berpuasa dan atau mengkhawatirkan keselamatan anak/janin yang dikandungnya.
Meskipun demikian, menurut Syekh Nawawi al-Bantani dalam “Qut al-Habib al-Gharib”, di kemudian hari (dengan batasan sebelum datangnya Ramadan selanjutnya) ia wajib mengganti puasa yang ditinggalkannya dengan rincian sebagai berikut:
a). Jika ia tidak berpuasa disebabkan karena khawatir atas keselamatan dirinya dan atau dirinya beserta anak/janinya, maka ia diwajibkan mengganti/qadha’ atas puasa yang ditinggalkannya, buka membayar fidyah.
b). Jika ia tidak berpuasa disebabkan hanya khawatir atas keselamatan anak/janinnya saja, maka ia wajib mengganti/qadha’ atas puasa yang ditinggalkannya dan juga wajib membayar fidyah sebagai tebusan atas kelalaiannya.
Hal ini dikarenakan puasa adalah ibadah nafsiyah (ibadah pribadi) yang seharusnya statusnya tidak berubah sebab orang lain. Dalam kasus ini, status kewajiban berpuasa ditinggalkan sebab kekhawatiran atas anak/janin, bukan kekhawatiran atas dirinya dan atau dirinya beserta anak/janinnya.
Keempat, Orang yang mengakhirkan qadha’ puasa sampai datang Ramadan berikutnya.
Orang yang mempunyai kewajiban qadha’ puasa Ramadan sebab meninggalkannya, kemudian ia menunda-nunda qadha’ padahal memungkinkan untuk segera mengqadhanya, sampai kemudian datang bulan Ramadan berikutnya, maka menurut Syekh Jalaluddin al-Mahalli dalam “Kanz al-Raghibin”, ia berdosa karena sudah menunda-nunda qadha’ dan masih berkewajiban menqadha’ puasa tersebut bersamaan dengan kewajiban membayar fidyah sebanyak satu mud makanan pokok untuk per hari puasa yang ditinggalkan.
(ومن أخر قضاء رمضان مع إمكانه) بأن كان مقيما صحيحا. (حتى دخل رمضان آخر لزمه مع القضاء لكل يوم مد) وأثم كما ذكره في شرح المهذب وذكر فيه أنه يلزم المد بمجرد دخول رمضان.
Pembayaran fidyah ini diwajibkan sebagai hukuman atas kelalaian dan keterlambatan mengqadha puasa Ramadan. Menurut pendapat paling shahih, fidyah kategori ini jumlahnya menjadi berlipat ganda dengan berlalunya putaran tahun.

Misalnya, orang punya tanggungan qadha’ puasa sehari di tahun 2023, ia tidak kunjung mengqadha sampai datang Ramadan tahun 2025, maka dengan berlalunya dua tahun (dua kali putaran Ramadan), kewajiban fidyah berlipat ganda menjadi dua mud dan seterusnya.
Terkait dengan hal ini, Syekh Jalaluddin al-Mahalli menjelaskan:
(والأصح تكرره) أي المد. (بتكرر السنين) والثاني لا يتكرر أي يكفي المد عن كل السنين.
“Menurut pendapat ashah, satu mud menjadi berlipat ganda dengan berlipatnya beberapa tahun. Menurut pendapat kedua, tidak menjadi berlipat ganda, maksudnya cukup membayar satu mud dari beberapa tahun yang terlewat”.
Keterangan di atas menunjukkan bahwa rukhshah membayar fidyah atas puasa yang ditinggalkan seseorang adalah sebanyak 1 mud makanan pokok daerah setempat _tidak boleh menggunakan uang_ untuk per hari puasa yang ditinggalkan.
Takaran 1 mud tersebut jika dikonversi menjadi satuan berat adalah sebanyak 675 gram/6,75 ons. Pendapat ini merupakan pendapat Jumhurul Madzahib (Madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali) sebagaimana disebutkan oleh Syekh Wahbah Az-Zuhayli dalam "al-Fiqhul Islami wa Adillatuh".
Adapun menurut Madzhab Hanafi, pembayaran fidyah boleh menggunakan makanan pokok tapi terbatas pada makanan pokok yang dinash dalam hadits Nabi, seperti kurma, al-burr (gandum), anggur dan al-sya’ir (jewawut), juga boleh menggunakan uang/nilai nominal (qimah) dari makanan tersebut.
Sementara jumlah takaran yang dikeluarkan sebagai tebusan per hari puasa yang ditinggalkan adalah 1 sha’ atau 4 mud untuk jenis kurma, jewawut, dan anggur (menurut sebagian pendapat, kadarnya anggur adalah 1/2 sha’ atau 2 mud).
Sedangkan untuk gandum adalah 1/2 sha’ atau 2 mud. Namun penting untuk diingat bahwa takaran 1 mud madzhab Hanafi berbeda dari takaran jumhur, karena menurut mazhab Hanafi, takaran 1 mud setara dengan berat 815,39 gram/8,15 ons. Dengan demikian jumlah 1 sha’ menurut madzhab ini setara dengan 815,39 gram x 4 = 3261,56 gram atau 3,26 kg.
Dengan demikian, menurut hemat penulis, membayar fidyah dengan uang/nilai nominal (qimah) diperbolehkan dengan syarat mengikuti versi Hanafiyah, yaitu dengan nominal uang yang sebanding dengan harga kurma, anggur, atau jewawut, seberat 3,26 kg untuk per hari puasa yang ditinggalkan.
Selebihnya mengikuti kelipatan puasanya. Bisa juga memakai nominal gandum seberat 1,63 kg untuk per hari puasa yang ditinggalkan, selebihnya mengikuti kelipatan puasanya.

Kemudian, menurut Syekh Khothib as-Syarbini dalam "Mughni al-Muhtaj", pembayaran fidyah di atas wajib ditasarufkan kepada fakir atau miskin, tidak diperbolehkan untuk golongan mustahiq zakat yang lain.
Pentasarufan fidyah berbeda dengan zakat, karena adanya nash Alquran dalam konteks fidyah hanya menyebut miskin saja “فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِيْنٍۗ” (QS al-Baqarah ayat 184). Adapun fakir diqiyaskan dengan miskin dengan pola qiyas aulawi (qiyas yang lebih utama), sebab kondisi fakir lebih parah daripada miskin.
Masih menurut Syekh as-Syarbini, hukum pentasarufan fidyah beberapa mud untuk beberapa puasa yang ditinggalkan kepada satu orang fakir/miskin diperbolehkan.
Misalnya, fidyah puasa orang yang sakit parah dan tidak ada harapan sembuh selama 30 hari, maka 30 mud makanan pokok daerah setempat boleh diberikan semuanya kepada satu orang fakir/miskin.
Lain halnya dengan 1 mud untuk jatah pembayaran fidyah sehari, tidak diperbolehkan diberikan kepada dua orang atau lebih. Misalnya, fidyah puasa orang yang sudah sangat tua dan lemah selama 1 hari, maka 1 mud fidyah tidak boleh diberikan dengan cara dibagi kepada dua orang fakir/miskin.
Dengan demikian, dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa fidyah puasa bagi yang mendapatkan rukhshah untuk mengganti puasanya dengan membayar fidyah boleh diakhirkan setelah Ramadan dengan cara ditasarufkan semuanya sekaligus kepada satu orang fakir/miskin atau dibagi.
Selain itu juga diperbolehkan ditasarufkan setelah subuh untuk setiap hari puasa sebelumnya sebesar 1 mud kepada 1 fakir/miskin, boleh juga setelah terbenamnya matahari di malam harinya sebesar 1 mud kepada 1 fakir/miskin.
Bahkan lebih utama di permulaan malam. Intinya tidak ada ketentuan waktu khusus dalam kitab-kitab fikih terkait dengan pentasarufan fidyah, hanya saja tidak diperbolehkan mempercepat pentasarufan fidyah.
Misalnya tidak boleh mengeluarkan fidyah sebelum Ramadan untuk puasa yang belum tiba waktunya, juga tidak sah sebelum memasuki waktu maghrib untuk setiap hari puasa yang dilalui.
Hal ini sebagaimana difatwakan oleh Syekh Muhammad al-Ramli yang menyatakan bahwa “tidak diperbolehkan mempercepat fidyah dari waktu-waktu puasa yang dilalui, sebab terdapat unsur mendahulukan fidyah dari kewajiban seseorang, yaitu beribadah puasa yang menjadikannya fitrah”. Wallahu a'lam. (*)
