Persiapan-persiapan khusus, seringkali nampak menjelang bulan suci ramadan. Mulai dari belanja bahan makanan pokok untuk sahur dan berbuka, hingga pakaian khusus untuk mewarnai ibadah-ibadah di sepanjang bulan puasa.
Hal demikian tentu wajar dan bukan sebuah kesalahan, meski demikian kita sebagai umat Islam perlu sesekali merenungi makna ibadah puasa secara lebih mendalam sehingga kita mampu mengkondisikan batin kita pada posisi yang tepat.
Melalui perenungan batiniyah tersebut, kita berharap ibadah puasa menjadi media untuk membersihkan batin dan mendekatkan kita pada Allah SWT.
Membahas keistimewaan ibadah puasa, merujuk pada sebuah Hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alai wa sallam bersabda:
”Allah berfirman, setiap amalan anak Adam untuknya, kecuali puasa. Maka sesungguhnya, ia (puasa) untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya,” (Diriwayatkan oleh Bukhari No. 1761 dan Muslim No. 1946).
SAAT memasuki bulan suci ramadan atau puasa, pada umumnya umat Islam berama-ramai mempersiapkan segala hal untuk menyambutnya.
Persiapan-persiapan khusus, seringkali nampak menjelang bulan suci ramadan. Mulai dari belanja bahan makanan pokok untuk sahur dan berbuka, hingga pakaian khusus untuk mewarnai ibadah-ibadah di sepanjang bulan puasa.
Sementara semakin mendekati akhir bulan puasa seperti ini, maka tak jarang kita semakin sibuk mempersiapkan segala hal-hal yang cenderung bersifat jasmaniah lainnya.
Hal demikian tentu wajar dan bukan sebuah kesalahan, meski demikian kita sebagai umat Islam perlu sesekali merenungi makna ibadah puasa secara lebih mendalam sehingga kita mampu mengkondisikan batin kita pada posisi yang tepat.
Melalui perenungan batiniyah tersebut, kita berharap ibadah puasa menjadi media untuk membersihkan batin dan mendekatkan kita pada Allah SWT.
Puasa dan Keistimewaannya
Membahas keistimewaan ibadah puasa, merujuk pada sebuah Hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alai wa sallam bersabda:
”Allah berfirman, setiap amalan anak Adam untuknya, kecuali puasa. Maka sesungguhnya, ia (puasa) untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya,” (Diriwayatkan oleh Bukhari No. 1761 dan Muslim No. 1946).

Hadits tersebut menjelaskan bahwa berbagai amal ibadah yang dilakukan umat manusia pada dasarnya untuk hamba-Nya sendiri kecuali ibadah puasa. Allah dalam hal ini “mengambil alih” amal ibadah puasa seorang hamba khusus untuk-Nya.
Hal ini tentu ditafsirkan secara beragam oleh para ulama. Meski demikian, apabila meninjau pada aspek filsofisnya dapat kita temui satu hikmah tersembunyi dari hadits di atas.
Merujuk pada Hadits Qudsi di atas, “pengambilalihan” amal ibadah puasa tersebut sesungguhnya mengandung makna filosofis yang amat mendalam.
Sebagaimana ujian tugas akhir yang harus ditempuh seorang mahasiswa, Allah ingin menilai langsung secara privat hamba-Nya yang berpuasa, sejauh mana keikhlasan ibadah puasa hamba-Nya ditempuh?
Tak seperti amal ibadah lain yang kasat mata sebagaimana sholat, zakat, infaq dan ibadah lainnya, ibadah puasa bersifat sunyi, sepi, dan penuh rahasia atau tak kasat mata.
Ibadah puasa hanya dapat diketahui oleh hamba yang berpuasa dan Allah SWT. Di balik kesunyian ibadah puasa, komitmen seorang hamba diuji, apakah ia mampu menjalankan ibadah puasa dengan ikhlas semata-mata menggapai ridho Allah SWT atau justru sebaliknya?
Apabila lolos komitmen dalam menjalankan ibadah sunyi tersebut, maka sebagaimana Hadits Qudsi di atas, Allah yang akan membalas amal ibadah tersebut.

Puasa dan Uji Komitmen Keikhlasan
Di tengah-tengah bulan suci ramadan, sebagai hamba yang beriman tentu kita menghendaki amal ibadah puasa kita lolos uji komiten keikhlasan.
Amaliah ibadah puasa yang bersifat sepi, sunyi, dan rahasia tersebut kita jalani dengan penuh rasa ikhlas dengan niat semata-mata mencari ridho Allah SWT.
Uji komitmen keikhlasan tersebut tentu tidak hanya sebatas menjalani ibadah puasa secara jasmaniah semata dengan menahan rasa haus dan dahaga sejak imsyak hingga kumandang adzan maghrib, namun juga secara batiniyah dengan senantiasa ikhlas memantapkan niat mengharap ridho dan ampunan Allah SWT.
Sebagai seorang hamba yang beriman, sekali lagi ibadah puasa menjadi ujian seorang hamba untuk mengukur diri, sejauh mana keikhlasan berpuasa dapat dijalani dengan niat lurus. (*)
