Di dalam momentum ini tubuh, akal, dan jiwa kita melakukan relaksasi, seraya mengevaluasi dan berupaya memperbaiki dirinya untuk perjalanan panjang berikutnya.
Hal ini karena ketika kita tidak memasukkan asupan makanan ke dalam tubuh, maka fisik akan terasa lemah, dan saat fisik kita lemah, syahwat kitapun akan melemah.
Pada momentum itulah kita akan cenderung meminimalisir perbuatan maksiat. Upaya perlambatan dan pelemahan fisik ini penting maknanya bagi tubuh dan jiwa kita, setalah sebelas bulan sebelumnya melakukan rutinitas sehari-hari yang nyaris tidak berjeda.
Di saat fisik dan jiwa kita melemah itulah, akan muncul dua kecenderungan yaitu menjadi lunglai tidak berdaya, dan berusaha untuk bangkit dari ketidakberdayaan.
PUASA Ramadan adalah satu fase di mana jiwa, akal, dan fisik melambatkan diri sejenak, setelah melewati perjalanan panjang dan cepat selama sebelas bulan sebelumnya.
Di dalam momentum ini tubuh, akal, dan jiwa kita melakukan relaksasi, seraya mengevaluasi dan berupaya memperbaiki dirinya untuk perjalanan panjang berikutnya.
Maka tidak berlebihan ketika kita menjadikan puasa Ramadan sebagai sarana untuk introspeksi diri, melatih kecerdasan spiritual kita untuk mencapai derajat manusia yang muttaqin.
Hal inilah yang secara eksplisit disebutkan dalam firman Allah subhanahu wata’ala dalam surat al Baqarah:183: ”Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas diri kalian untuk berpuasa, seperti halnya diwajibkan atas ummat sebelum kalian, supaya kalian menjadi hamba yang bertaqwa”.
Kata “bertaqwa” (tattaqun) dalam ayat tersebut dijelaskan oleh Imam Alqurthubi, dapat dimaknai sebagai upaya untuk melemahkan (tad’afun).
Hal ini karena ketika kita tidak memasukkan asupan makanan ke dalam tubuh, maka fisik akan terasa lemah, dan saat fisik kita lemah, syahwat kitapun akan melemah.
Pada momentum itulah kita akan cenderung meminimalisir perbuatan maksiat. Upaya perlambatan dan pelemahan fisik ini penting maknanya bagi tubuh dan jiwa kita, setalah sebelas bulan sebelumnya melakukan rutinitas sehari-hari yang nyaris tidak berjeda.
Di saat fisik dan jiwa kita melemah itulah, akan muncul dua kecenderungan yaitu menjadi lunglai tidak berdaya, dan berusaha untuk bangkit dari ketidakberdayaan.

Ketidakberdayaan yang dirasakan oleh orang yang sedang berpuasa akan mendesak kesadaran bahwa sejatinya manusia adalah makhluk yang lemah, dan sangat bergantung dengan makhluk yang lainnya.
Bisa saja manusia merasa dirinya kuat tatkala sedang berada dipuncak status atau strata sosial, tetapi dia akan lemah dan lunglai ketika tubuhnya tidak bisa kemasukan asupan makanan, baik karena alasan medis atau alasan lainya.
Oleh karena itu momentum ketidakberdayaan saat berpuasa adalah saat yang tepat untuk introspeksi diri, ber-muhasabah, bahwa tidak selayaknya manusia bersikap sombong dan merasa paling kuat.
Selain kesadaran diri bahwa manusia adalah makhluk yang lemah, kecenderungan saat fisik dan jiwa melemah adalah ada upaya untuk bangkit dari ketidakberdayaan.
Salah satu upaya untuk bangkit adalah meminta pertolongan kepada siapa pun yang ada di sekitarnya. Sadar bahwa diri adalah makhluk yang butuh keberadaan yang lain adalah salah satu bentuk kecerdasan.
Hal ini karena tanpa keberadaan yang lain, orang tidak akan bisa bertahan hidup lebih lama.
Kesadaran akan pentingnya keberadaan yang lain akan melahirkan sosok manusia yang peduli, manusia yang peka terhadap lingkungan sekitar, dan sosol manusia yang selalu butuh pada pertolongan dari yang Maha Kuat, Allah Subhanahu wata’ala.
Maka dengan demikian puasa Ramadan jika di lakukan dengan niat yang tulus akan melahirkan kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, dan puncaknya adalah kecerdasan spiritual.

Maka dari itu pada momentum puasa Ramadan kali ini, penting bagi kita untuk berusaha menyadari bahwa ibadah puasa sejatinya tidak hanya sekedar menahan diri dari makan, minum, dan hal yang membatalkan puasa.
Lebih dari itu, kita juga harus menyadari bahwa puasa hati yang membangkitkan kecerdasan spiritual, adalah puncak dari segala puasa yang selalu kita upayakan untuk meraih kebahagiaan sejati, sebagaimana sabda Rasulullah:
”Bagi orang yang berpuasa diberi dua kebahagiaan, yakni kebahagian ketika berbuka, dan kebahagiaan ketika bertemu Tuhannya”. Wallahu a’lamu bis-shawab…
