PUASA dalam Bahasa Arab disebut sebagai shaum atau shiyam yang secara etimologi, mempunyai arti imsak atau menahan. Sementara secara istilahy (terminology), menurut Sayyid Sabiq dalam Kitab Fiqih Sunnah, puasa adalah menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa, yaitu dimulai sejak terbit fajar hingga matahari terbenam, dan disertai dengan niat.
Hukum menjalankan ibadah puasa Ramadhan adalah wajib yang didasarkan pada Alquran, Hadist, dan Ijma’. Dalam Q.S Al-Baqarah: 183 Allah SWT berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (Al-Baqarah [2]:183)
Pada ayat diatas menunjukkan bahwa kewajiban berpuasa pada dasarnya telah diwajibkan oleh Allah SWT juga bagi umat sebelumnya. Ayat diatas juga menunjukkan tujuan disyari’atkannya puasa Ramadan adalah agar kita menjadi insan yang bertakwa. Sementara menurut Hadits Nabi sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Bukhory dan Muslim, puasa Ramadhan merupakan Rukun Islam yang ketiga.
Begitu banyak hikmah disyari’atkannya puasa Ramadhan, diantaranya mengajarkan kita untuk hidup sederhana. Dengan menahan rasa lapar, dahaga, dan segala hal yang bisa membatalkannya sejak terbit fajar hingga terbenam matahari, pada dasarnya kita sedang belajar tirakat.
Namun pada realitanya, pada saat menjelang Maghrib, sering kali kita menjadi lapar mata sehingga kita berlebih-lebihan dalam menyiapkan hidangan berbuka puasa.
Nabi mengajarkan agar kita berbuka dengan tiga butir kurma, tapi kita sering lupa daratan dengan menyiapkan berbagai macam hidangan yang banyak dan terkadang bermewah-mewahan. Sehingga pada saat berbuka, makanan yang telah kita siapkan menjadi tidak termakan dan menjadi mubadzir. Alangkah bermanfaatnya, jika kita bisa menyiapkan hidangan berbuka puasa secukupnya yang kuat kita makan, sementara selebihnya kita dapat sedekahkan kepada fakir miskin di sekitar kita.
Demikian juga di penghujung bulan Ramadhan, pengunjung di mall-mall dan pasar-pasar jauh lebih ramai dibandingkan yang berjemah di masjid. Kita menjadi lebih fokus pada belanja persiapan Hari Raya, yang terkadang lebih mengutamakan keinginan daripada kebutuhan.
Sehingga bisa jadi kita berbelanja pakaian atau barang lainnya melebihi kemampuan finansial kita, bahkan terkadang harus berutang hanya untuk memenuhi keinginan kita agar terlihat “wah” oleh orang-orang yang memandang. Bisa jadi, di almari kita masih tergantung banyak baju yang masih bagus atau bahkan ada baju baru yang belum pernah kita pakai sama sekali.
Nabi sendiri mengajarkan kita untuk melaksanakan Salat Idulfitri dengan pakaian terbersih dan terbaik yang kita miliki, yang menurut Abu Sa’id Al-Khadimi dalam Kitab Bariqah Mahmudiyyah dimaksudkan untuk mengagungkan malaikat yang hadir di sekitar kita, bukan agar terlihat baik dalam pandangan manusia. Sementara pakaian terbaik tidak selalu pakaian baru.
Di tengah kesulitan ekonomi masyarakat di Indonesia saat ini, puasa Ramadan kali ini dapat kita jadikan momentum untuk mengikuti pola hidup sederhana dengan tidak mengikuti gaya hidup hedonisme yang berlebih-lebihan.
Satu hal yang perlu kita ingat dalam berbelanja, kita harus mengutamakan kebutuhan diatas keinginan. Karena keinginan merupakan bagian dari hawa nafsu yang seharusnya kita kekang selama menjalan ibadah puasa Ramadhan. Dengan mengekang hawa nafsu yang ada dalam diri kita, semoga kita dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang bertakwa. Amin Allahumma Amin. (*)




