Takwa dalam arti sejati, yakni menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT dan menjauhi yang dilarang oleh-Nya. Ada banyak cara untuk mencapai ketakwaan di Bulan Suci Ramadan.
Salah satunya adalah dengan menerapkan kesederhanaan dalam menjalani kehidupan. Tidak hanya saat berpuasa, melainkan juga bulan-bulan setelah Ramadan, karena Ramadan merupakan madrasah yang melatih kita untuk menjalani kehidupan lebih baik.
Dahulu, ada seorang sahabat Rasulullah Muhammad Saw. yang bernama Abu Dzar Al-Ghifari. Salah seorang yang pertama kali masuk Islam dan diberi gelar oleh rasulullah sebagai al Mashduq (orang yang jujur).
Abu Dzar tinggal di Rabadzah, daerah terpencil yang jauh dari pusat Kota Madinah. Tak seperti orang-orang yang hidup serba berkecukupan, Abu Dzar memilih untuk hidup sederhana dan jauh dari kesan mewah, bahkan ia mengkritik pemimpin dan orang kaya yang hidup bermewah-mewahan.
Abu Dzar pernah mendapat pekerjaan yang oleh sebagian orang dianggap prestisius. Meskipun demikian, ia menolak fasilitas, bahkan tidak mau menerima gaji.
Kesederhanaan yang ia tunjukan bukan hanya dari penolakannya terhadap gaji dan fasilitas, tetapi juga saat Utsman Bin Afan menjadi khalifah, beliau pernah diberi 300 dirham namun tidak diterima.
Kalimat yang keluar dari lisannya adalah “Apakah Allah tidak mencukupkan aku dengan roti dan gandum sehari-hari?” Sebaliknya, ia justru membagikan harta yang ia dapatkan pada orang yang membutuhkan.
Tidak terbesit dalam pikirannya untuk menimbun harta dan menjadi kaya raya, karena bagi Abu Dzar kekayaan yang sesungguhnya adalah kekayaan hati, sedangkan kemiskinan yang sebenarnya adalah kemiskinan hati.
Ia tidak manjadikan harta benda sebagai tujuan hidup dan memilih untuk hidup serderhana, serta mengajarkan bahwa kesederhadaan bukan berarti kemiskinan.
PUASA Ramadan adalah sebuah ibadah wajib bagi orang-orang yang beriman. Puasa melatih pribadi-pribadi yang beriman untuk sampai pada ketakwaan.
Takwa dalam arti sejati, yakni menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT dan menjauhi yang dilarang oleh-Nya. Ada banyak cara untuk mencapai ketakwaan di Bulan Suci Ramadan.
Salah satunya adalah dengan menerapkan kesederhanaan dalam menjalani kehidupan. Tidak hanya saat berpuasa, melainkan juga bulan-bulan setelah Ramadan, karena Ramadan merupakan madrasah yang melatih kita untuk menjalani kehidupan lebih baik.
Dahulu, ada seorang sahabat Rasulullah Muhammad Saw. yang bernama Abu Dzar Al-Ghifari. Salah seorang yang pertama kali masuk Islam dan diberi gelar oleh rasulullah sebagai al Mashduq (orang yang jujur).
Abu Dzar tinggal di Rabadzah, daerah terpencil yang jauh dari pusat Kota Madinah. Tak seperti orang-orang yang hidup serba berkecukupan, Abu Dzar memilih untuk hidup sederhana dan jauh dari kesan mewah, bahkan ia mengkritik pemimpin dan orang kaya yang hidup bermewah-mewahan.
Abu Dzar pernah mendapat pekerjaan yang oleh sebagian orang dianggap prestisius. Meskipun demikian, ia menolak fasilitas, bahkan tidak mau menerima gaji.
Kesederhanaan yang ia tunjukan bukan hanya dari penolakannya terhadap gaji dan fasilitas, tetapi juga saat Utsman Bin Afan menjadi khalifah, beliau pernah diberi 300 dirham namun tidak diterima.
Kalimat yang keluar dari lisannya adalah “Apakah Allah tidak mencukupkan aku dengan roti dan gandum sehari-hari?” Sebaliknya, ia justru membagikan harta yang ia dapatkan pada orang yang membutuhkan.
Tidak terbesit dalam pikirannya untuk menimbun harta dan menjadi kaya raya, karena bagi Abu Dzar kekayaan yang sesungguhnya adalah kekayaan hati, sedangkan kemiskinan yang sebenarnya adalah kemiskinan hati.
Ia tidak manjadikan harta benda sebagai tujuan hidup dan memilih untuk hidup serderhana, serta mengajarkan bahwa kesederhadaan bukan berarti kemiskinan.

Kesederhanaan telah menjadi jalan hidup Abu Dzar. Ia wafat di Rabadzah pada tahun 32 H. Abu Dzar merupakan sosok yang jujur dan sederhana.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW. Bersabda: “Tidak ada di atas bumi dan di bawah naungan langit orang yang lebih jujur daripada Abu Dzar.”
Ia wafat dalam konsistensi hidup dengan kesederhanaan. Kesederhanaan bukan hanya ia jalani selama masih hidup, tetapi juga hingga akhir hayat.
Kisah Abu Dzar di atas tentu menjadi inspirasi dan tauladan bagi kita. Meski kita bukanlah Abu Dzar yang bergelar al Mashduq. Kita hanya hamba Allah yang senantiasa mencoba untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Salah satu langkah yang bisa diambil adalah mencontoh Abu Dzar. Kesederhanaan yang diimplementasikan oleh Abu Dzar memberikan pelajaran penting. Pertama, kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan hati, sedangkan kemiskinan yang sebenarnya adalah kemiskinan hati.
Abu Dzar menjadikan hati sebagai indikator kekayaan seseorang. Ini tidak terlepas dari hadis Rasulullah Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
”Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk rupa dan harta kalian. Akan tetapi, Allah hanyalah melihat pada hati dan amalan kalian” (HR. Muslim no. 2564).
Hati menjadi fokus penting dari sebuah kesederhanaan. Bahkan niat seseorang pun terletak dalam hati, sehingga aktivitas apapun yang dilakukan olehnya akan dinilai oleh Allah SWT. dari hati orang tersebut.
Kedua, berbagi kepada sesama lebih utama daripada menimbun harta. Abu Dzar tidak berkeinginan untuk menimbun harta. Jika ia mau, tentu ia mampu menjadi seorang yang punya banyak harta dan hidup serba kecukupan.
Apalagi ia adalah orang yang pertama kali masuk Islam, sehingga legitimasi dan akses terhadap kekuasaan sangat mungkin ia peroleh. Namun, itu semua tidak dilakukan olehnya.

Bahkan dalam riwayat dijelaskan ia mengkritik keras pemimpin dan orang kaya yang menimbun harta. Abu Dzar juga mengingatkan adanya firman Allah SWT. dalam Al Quran surat At Taubah 34-35:
”Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka berikanlah kabar gembira kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) azab yang pedih.” (34) “(Ingatlah) pada hari ketika emas dan perak dipanaskan dalam neraka Jahanam, lalu dengan itu disetrika dahi, lambung dan punggung mereka (seraya dikatakan) kepada mereka, “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah (akibat dari) apa yang kamu simpan itu,” (35)
Atas dasar inilah mengapa Abu Dzar menganjurkan untuk tidak menimbun harta. Sebaliknya, membagikan harta yang dimiliki kepada yang membutuhkan, dan menjadikannya sebagai media perjuangan di jalan Allah SWT.
Ketiga, berani mendakwahkan bahaya kemewahan. Abu Dzar secara tegas menyampaikan firman Allah SWT tentang bahaya kemewahan. Sebagai sahabat Rasulullah SAW yang diberi gelar al Mashduq, Abu Dzar tidak menutupi apapun dalam mendakwahkan tentang bahaya kemewahan.
Kritik yang ditujukan bagi para pemimpin dan orang kaya yang menimbun harta adalah wujud nyata dakwah yang dilakukan oleh Abu Dzar. Selain melalui lisan, ia juga memberikan contoh dengan hidup sederhana. Tak sedikitpun terbesit olehnya untuk menimbun harta dan kekayaan.
Keempat, tidak terlalu mencintai dunia dan menjadikan akhirat sebagai keutamaan. Penolakan halus Abu Dzar atas pemberian 300 dirham oleh Khalifah Utsman bin Afan dengan mengatakan Allah telah mencukupkannya dengan roti dan gandum sehari-hari merupakan bukti bahwa ia tidak terlalu mencintai dunia.
Sebaliknya, sikap qonaah dan merasa Allah telah mencukupkan Abu Dzar memberikan pelajaran bahwa kecintaan kepada Allah ia tunjukan dengan rasa cukup dan syukur. Seakan ia ingin mengatakan bahwa Allah menjadi tujuan bagi dirinya, bukan kesenangan dunia.
Kelima, konsistensi dalam menjalani prinsip hidup sederhana. Abu Dzar wafat dalam hidup yang sederhana. Rasulullah SAW. pernah berkata kepada Abu Dzar saat Perang Tabuk bahwa ia hidup sendirian, dan meninggal dalam kesendirian.
Namun, akan datang orang shalih dari Irak yang mengurus pemakamannya. Kesederhanaan Abu Dzar menjadi tauladan penting bagi kita, hingga pada akhir hayatnya, ia tetap teguh dalam kesederhanaan.
Para pembaca yang dirahmati Allah, lima poin di atas tidaklah cukup untuk menggambarkan betapa kesederhanaan Abu Dzar begitu membawanya menjadi seorang yang mulia, masih banyak pelajaran yang dapat kita ambil dari kehidupan Abu Dzar.

Meskipun demikian, setidaknya, Abu Dzar telah menginspirasi kita untuk bisa mengimplementasikan kesederhanaan dalam kehidupan, apalagi di bulan suci Ramadan.
Ramadan adalah madrasah yang melatih seseorang untuk bisa hidup sederhana. Tidak boros, apalagi bergaya hidup berlebihan (hedon). Kita dianjurkan untuk makan secukupnya saat sahur dan berbuka.
Kita juga dapat merasakan betapa puasa ramahadhan mengajarkan kita untuk berempati pada sesama. Mereka yang selama ini menahan lapar karena tidak memiliki uang untuk membeli kebutuhan pokok, seperti beras untuk dimasak, sayur untuk diolah, terpaksa menahan lapar yang lebih daripada kita.
Oleh karenanya, dengan empati yang ada pada diri kita, kita akan mampu untuk merenung, ternyata Allah telah memberikan kita kecukupan daripada orang lain yang kesusahan, sehingga rasa syukur akan pemberian Allah akan sangat terasa pada diri kita.
Lebih lanjut, syukur itu dapat kita wujudkan dengan dapat hidup sederhana. Lalu, bagaimana kesederhanaan itu dapat kita capai di bulan Ramadan dan bulan-bulan sesudahnya?
Kesederhanaan dapat kita capai dengan menerapkan prinsip-prinsip kesederhanaan dalam Islam di Bulan Ramadan. Pertama, qonaah (merasa cukup).
Qonaah adalah harta yang paling berharga. Ia adalah perbedaharaan yang senantiasa tercuarah dan tidak pernah habis. Merasa cukup atas apa yang telah diberikan oleh Allah adalah bagian penting mewujudkan kesederhanaan.
Tidak ada mahkluk di dunia ini yang tidak diberikan rezeki oleh Allah SWT. Merasa cukup adalah salah satu pemaknaan terdalam atas rezeki yang telah Allah berikan.
Kedua, zuhud (kesederhadaan dalam hidup). Tidak menjadikan kehidupan dunia sebagai tujuan, melainkan kehidupan akhirat. Ridha Allah adalah orientasi terbesar bagi sorang hamba yang zuhud. Ketiga, pengendalian diri.
Puasa bukan hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga melatih pengedalian diri. Salah satunya adalah pengendalian diri dari berbagai keinginan duniawi yang dapat membuat seseorang tidak hidup sederhana. Keempat, empati sosial.

Melihat fakta bahwa masih ada saudara-saudara kita yang membutuhkan akan mampu meningkatkan rasa syukur atas apa yang telah Allah berikan kepada kita.
Dengan demkian, puasa akan membangkitkan kepekaan sosial serta berempati atas perderitaan orang lain. Pada akhirnya, empati sosial akan memupuk benih-benih kesederhanaan agar semakin tumbuh.
Terakhir, memelihara kesehatan spiritual. Puasa dapat menjadikan jiwa seseorang bersih dan mampu menguatkan tekat untuk hidup sederhana. Oleh karenanya, kesehatan spiritual harus senantiasa di rawat dan ditingkatkan, apalagi pada saat bulan suci Ramadan. (*)
