Jadi, mereka yang tidak memenuhi kriteria syarat tersebut tidak wajib menunaikan puasa.
Puasa adalah ibadah yang agung dan menjadi salah satu rukun Islam. Keagungan puasa merupakan sesuatu yang masyhur sebab puasa diklaim oleh Allah ta'ala sebagai ibadah milik-Nya.
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ فَهُوَ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ إِنَّمَا يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ مِنْ أَجْلِي
Artinya: ”Semua amal ibadah manusia adalah untuknya kecuali puasa, karena puasa hanya untuk-Ku (Allah), dan Aku-lah yang akan langsung membalasnya. Ia meninggalkan makan dan minumnya semata untuk-Ku.” (HR Al-Bukhari dan Ahmad).
Dalam penggalan kata terakhir dari hadis tersebut menunjukkan bahwa Allah hanya akan menerima puasa dari orang yang menahan makan dan minum karena tulus ikhlas mengikuti perintah-Nya.
Puasa bukan sekadar mengikuti tradisi atau mencari pujian dari orang lain agar dianggap sebagai orang saleh yang berpuasa selama satu bulan penuh.
Oleh karenanya keihklasan adalah kunci puasa seorang hamba diterima oleh Allah ta'ala. Ikhlas sendiri merupakan ”ruh” dari semua ibadah, termasuk puasa.
Maka sudah sepatutnya bagi seorang muslim betul-betul memperhatikan keikhlasannya dalam beribadah khususnya dalam berpuasa.
«مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ» متفقٌ عَلَيْهِ
Artinya: ”Barangsiapa puasa di bulan Ramadan dengan keimanan dan penuh ketulusan karena mencari Ridla Allah maka akan diampuni segala dosanya yang telah lalu.” (HR Bukhari Muslim)
Murianews, Kudus – Bulan Ramadan adalah bulan yang ditunggu-tunggu umat Islam. Pada bulan Ramadan ini, umat Islam mendapat kewajiban untuk melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh.
Bulan suci Ramadan merupakan sebuah momentum penting bagi umat muslim. Pada bulan ini, semua orang berlomba-lomba untuk berbuat kebaikan dan beribadah kepada Allah SWT.
Alhamdulillah, saat ini kita dipertemukan lagi dengan bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya penuh dengan Rahmat dan ampunan dari Allah ta'ala bagi mereka yang berpuasa dengan ikhlas.
Oleh karena itu seyogyanya bagi kaum muslimin benar benar mengetahui makna keikhlasan dalam puasa, agar dapat meraih kesempurnaan puasa.
Berikut naskah Khotbah Jumat berjudul ”Kunci Kesempurnaan Puasa”, dilansir dari NU Online.
Khutbah I
الْحَمْدُ لِلّٰهِ الَّذِي أَوْضَحَ لَنَا شَرَائِعَ دِيْنِهِ وَمَنَّ عَلَيْنَا بِتَنْزِيلِ كِتَابِهِ وَأَمَدَّنَا بِسُنَّةِ رَسُولِهِ، فَلِلّٰهِ الْحَمْدُ عَلَى مَا أَنْعَمَ بِهِ مِنْ هِدَايَتِهِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى خَيْرِ الْإِنْسَانِ مُبَيِّنًا عَلَى رِسَالَةِ الرَّحْمَنِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ الْمَحْبُوْبِيْنَ جَمِيْعًا, وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، شَهَادَةَ مُوْقِنٍ بِتَوْحِيْدِهِ، مُسْتَجِيْرٍ بِحَسَنِ تَأْيِيْدِهِ. وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّداً عَبْدُهُ الْمُصْطَفَى، وَأَمِيْنُهُ الْمُجْتَبَي وَرَسُوْلُهُ الْمَبْعُوْثُ إِلَى كَافَةِ الْوَرَى
أَمَّا بَعْدُ: فَيَاعِبَادَ اللّٰهِ اِتَّقِ اللَّهَ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ قَالَ اللّٰهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الكَرِيْمِ: يَٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ اَمَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ
Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah
Puasa Ramadan diwajibkan saat nabi Muhammad SAW telah hijrah ke Madinah, tepatnya di tahun kedua hijriah. Ibadah puasa diwajibkan bagi kaum muslimin yang telah baligh, berakal, mampu dan suci dari haid maupun nifas.
Keikhlasan dalam Berpuasa...
Jadi, mereka yang tidak memenuhi kriteria syarat tersebut tidak wajib menunaikan puasa.
Puasa adalah ibadah yang agung dan menjadi salah satu rukun Islam. Keagungan puasa merupakan sesuatu yang masyhur sebab puasa diklaim oleh Allah ta'ala sebagai ibadah milik-Nya.
Sebagaimana firman Allah dalam Hadis Qudsi:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ فَهُوَ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ إِنَّمَا يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ مِنْ أَجْلِي
Artinya: ”Semua amal ibadah manusia adalah untuknya kecuali puasa, karena puasa hanya untuk-Ku (Allah), dan Aku-lah yang akan langsung membalasnya. Ia meninggalkan makan dan minumnya semata untuk-Ku.” (HR Al-Bukhari dan Ahmad).
Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah
Hadis tersebut tidak hanya menunjukkan bahwa puasa adalah ibadah agung yang bisa diterima begitu saja.
Dalam penggalan kata terakhir dari hadis tersebut menunjukkan bahwa Allah hanya akan menerima puasa dari orang yang menahan makan dan minum karena tulus ikhlas mengikuti perintah-Nya.
Puasa bukan sekadar mengikuti tradisi atau mencari pujian dari orang lain agar dianggap sebagai orang saleh yang berpuasa selama satu bulan penuh.
Oleh karenanya keihklasan adalah kunci puasa seorang hamba diterima oleh Allah ta'ala. Ikhlas sendiri merupakan ”ruh” dari semua ibadah, termasuk puasa.
Maka sudah sepatutnya bagi seorang muslim betul-betul memperhatikan keikhlasannya dalam beribadah khususnya dalam berpuasa.
Sebagaimana Baginda nabi Muhammad SAW bersabda:
«مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ» متفقٌ عَلَيْهِ
Artinya: ”Barangsiapa puasa di bulan Ramadan dengan keimanan dan penuh ketulusan karena mencari Ridla Allah maka akan diampuni segala dosanya yang telah lalu.” (HR Bukhari Muslim)
Keikhlasan dalam Berpuasa...
Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah
Orang yang ikhlas akan memiliki pola hidup yang lebih berkualitas dibanding lainnya. Ia akan lebih tenang menghadapi masalah, lega dengan setiap usahanya dan bersahaja dalam bertindak. Untuk mencapai keikhlasan ada dua cara:
Pertama, mengenal dan memahami Allah. Dengan mengenal dan memahami Allah, melalui sifat-sifat-Nya, maka seseorang akan paham dan merasakan betul bahwa hidupnya sangat bergantung kepada Allah.
Keikhlasan pun akan muncul, bahkan akan mudah bersyukur tiada henti. Inilah langkah awal untuk bisa mengamalkan sikap ikhlas dalam kehidupan sehari-hari.
Maka tidak mengherankan apabila Imam Ahlusunnah wal Jamaah syekh Abil Hasan Al-Asy'ari menjadikan makrifat kepada Allah, dalam arti mengenal sifat-sifat-Nya, menjadi kewajiban pertama bagi orang mukallaf yakni orang yang berakal dan telah baligh.
Sebab tidaklah bisa diterima oleh akal apabila seseorang diwajibkan untuk beribadah kepada Dzat yang belum dikenalinya.
Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah
Kedua, dengan selalu menelaah sejarah hidup orang-orang shaleh. Dengan melihat dan memahami kisah hidup orang-orang shaleh, maka seseorang bisa belajar sekaligus meniru keikhlasan dari mereka.
Sebagaimana perkataan Sayyidah Rabi'ah al-'Adawiyah yang dinukil oleh syekh Bujairami dalam kitab Hasyiyah Bujairami 'ala Al-Khatib jilid 1 hal 18:
وَمِنْ ثَمَّ قَالَتْ رَابِعَةُ الْعَدَوِيَّةُ: مَا عَبَدْتُكَ طَمَعًا فِي جَنَّتِكَ وَلَا خَوْفًا مِنْ نَارِكَ إنَّمَا عَبَدْتُكَ امْتِثَالًا لِأَمْرِكَ
Artinya: ”Oleh karena hal tersebut kemudian Sayyidah Rabi'ah al-'Adawiyah berkata: Ya Allah, aku tidak menyembah-Mu karena berharap surga-Mu atau takut neraka-Mu, melainkan karena ketaatan akan perintah-Mu.”
Melihat bagaimana perkataan Sayyidah Rabi'ah al-'Adawiyah ini, kita bisa menyadari luar biasanya tingkat ketulusan penghambaan dari seorang makhluk kepada sang Khaliq dalam beribadah. Tidak seperti kita yang selalu menghitung untung dan rugi dalam setiap amal perbuatan yang kita lakukan.
Ma'asyiral Muslimin Rahimakumullah
Dari dua kiat tersebut, diharapkan kita bisa menjadi pribadi yang ikhlas dalam hal apapun, khususnya puasa di bulan Ramadan tahun ini dan yang akan datang. Mari kita sadari bersama bahwa tidak ada kekuatan ibadah dan daya upaya menjauhi larangan kecuali semua atas izin Allah ta'ala.
Demikian khotbah Jumat singkat pada siang hari ini, semoga membawa kemanfaatan bagi kita semua. Semoga kita bisa menjalani puasa Ramadan tahun ini dengan penuh keikhlasan mengharap Ridla Allah ta'ala. Aamiin Aamiin.