Rabu, 19 November 2025

Murianews, KudusSalat gaib dilaksanakan seorang muslim bagi jenazah yang berada di tempat yang tidak terjangkau atau jauh. Ibadah salat gaib dilakukan umat muslim ketika jenazah tidak dapat dijangkau akibat bencana alam atau saat tidak berkesempatan takziah ke tempat jenazah.

Melansir NU Online Jabar, asal mula adanya salat gaib berawal dari kisah kematian Raja Najasyi, Ashhamah bin Abjar, sang penguasa negeri Habasyah (sekarang Etiopia). Ia wafat pada Rajab 9 Hijriah. Kewafatan Raja Najasyi memiliki nilai tersendiri bagi sejarah dan hukum Islam. Karena dari sanalah kemudian muncul syariat untuk melakukan salat gaib, salat atas jenazah yang tidak di tempat.    

Sebenarnya, bukan hanya untuk Raja Najasyi itu Nabi Saw melakukan salat gaib, tetapi juga kepada tiga sahabat lainnya. Yaitu Mu’awiyah bin Mu’awiyah al-Muzanni yang wafat di Madinah, Zaid bin Haritsah dan Ja’far bin Abu Thalib yang keduanya menjemput syahid dalam pertempuran Mu’tah saat melawan kekaisaran Romawi Timur. 

Namun, yang paling sering dibicarakan ulama sebagai dalil salat gaib adalah salat yang dilakukan Nabi saw kepada raja yang dikaruniai Islam di penghujung usianya. Hal ini dikarenakan dalil Nabi saw salat gaib atas Raja Najasyi adalah hadis sahih, bahkan disepakati oleh Imam al-Bukhari dan Muslim.  

Di antara dalil tersebut adalah riwayat dari Abu Hurairah ra yang artinya:

أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم نَعَى النَّجَاشِيَّ فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ، وَخَرَجَ بِهِمْ إِلَى الْمُصَلَّى، فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ عَلَيْهِ أَرْبَعًا. (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)

”Sungguh Nabi saw memberitakan kabar kematian Raja Najasyi di hari kewafatannya, lalu beliau bersama para sahabatnya keluar ke tempat salat, membariskan sahabatnya dan bertakbir sebanyak empat kali (salat gaib).” (Alawi Abbas al-Maliki, Hasan Sulaiman an-Nuri, Ibânatul Ahkâm Syarhul Bûlugil Marâm, juz II, halaman 173).

Sementara hadis yang menyatakan Nabi saw salat gaib untuk sahabat Mu’awiyah bin Mu’awiyah al-Muzanni atau al-Laitsi adalah hadis dha’if (lemah) sebagaimana dikatakan al-Bukhari dan al-Baihaqi.

Adapun Abu Hatim dan ad-Daruquthni menyebutnya sebagai hadis matrûk (yang harus ditinggalkan atau tak layak diikuti). Demikian ini karena kelemahan salah seorang perawinya yaitu al-Ala’ bin Zaid atau al-Ala’ bin Ziyad. 

Sementara Ibnul Qayyim mengatakan, bahwa hadis Nabi saw salat gaib untuk Mu’awiyah bin Mu’awiyah tidak sah dijadikan pegangan, karena salah seorang perawinya adalah al-Ala’ bin Zaid.” (Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdillah as-Syaukani, Nailul Authâr, juz IV, halaman 57).   

Imam ad-Dzahabi mengatakan, “Lâ na’lamu fish shahâbah Mu’awiyah bin Mu’awiyah” (Kami tak pernah tahu ada sahabat bernama Mu’awiyah bin Mu’awiyah). Lebih tegas lagi Imam Ibnud Dini berkata, ”Kâna yadha’ul hadîts” (Al-Ala’ bin Zaid itu membuat-buat hadis).   

  • 1
  • 2

Komentar