Sebenarnya, bukan hanya untuk Raja Najasyi itu Nabi Saw melakukan salat gaib, tetapi juga kepada tiga sahabat lainnya. Yaitu Mu’awiyah bin Mu’awiyah al-Muzanni yang wafat di Madinah, Zaid bin Haritsah dan Ja’far bin Abu Thalib yang keduanya menjemput syahid dalam pertempuran Mu’tah saat melawan kekaisaran Romawi Timur.
Namun, yang paling sering dibicarakan ulama sebagai dalil salat gaib adalah salat yang dilakukan Nabi saw kepada raja yang dikaruniai Islam di penghujung usianya. Hal ini dikarenakan dalil Nabi saw salat gaib atas Raja Najasyi adalah hadis sahih, bahkan disepakati oleh Imam al-Bukhari dan Muslim.
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم نَعَى النَّجَاشِيَّ فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ، وَخَرَجَ بِهِمْ إِلَى الْمُصَلَّى، فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ عَلَيْهِ أَرْبَعًا. (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
”Sungguh Nabi saw memberitakan kabar kematian Raja Najasyi di hari kewafatannya, lalu beliau bersama para sahabatnya keluar ke tempat salat, membariskan sahabatnya dan bertakbir sebanyak empat kali (salat gaib).” (Alawi Abbas al-Maliki, Hasan Sulaiman an-Nuri, Ibânatul Ahkâm Syarhul Bûlugil Marâm, juz II, halaman 173).
Sementara hadis yang menyatakan Nabi saw salat gaib untuk sahabat Mu’awiyah bin Mu’awiyah al-Muzanni atau al-Laitsi adalah hadis dha’if (lemah) sebagaimana dikatakan al-Bukhari dan al-Baihaqi.
Adapun Abu Hatim dan ad-Daruquthni menyebutnya sebagai hadis matrûk (yang harus ditinggalkan atau tak layak diikuti). Demikian ini karena kelemahan salah seorang perawinya yaitu al-Ala’ bin Zaid atau al-Ala’ bin Ziyad.
Sementara Ibnul Qayyim mengatakan, bahwa hadis Nabi saw salat gaib untuk Mu’awiyah bin Mu’awiyah tidak sah dijadikan pegangan, karena salah seorang perawinya adalah al-Ala’ bin Zaid.” (Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdillah as-Syaukani, Nailul Authâr, juz IV, halaman 57).
Murianews, Kudus – Salat gaib dilaksanakan seorang muslim bagi jenazah yang berada di tempat yang tidak terjangkau atau jauh. Ibadah salat gaib dilakukan umat muslim ketika jenazah tidak dapat dijangkau akibat bencana alam atau saat tidak berkesempatan takziah ke tempat jenazah.
Melansir NU Online Jabar, asal mula adanya salat gaib berawal dari kisah kematian Raja Najasyi, Ashhamah bin Abjar, sang penguasa negeri Habasyah (sekarang Etiopia). Ia wafat pada Rajab 9 Hijriah. Kewafatan Raja Najasyi memiliki nilai tersendiri bagi sejarah dan hukum Islam. Karena dari sanalah kemudian muncul syariat untuk melakukan salat gaib, salat atas jenazah yang tidak di tempat.
Sebenarnya, bukan hanya untuk Raja Najasyi itu Nabi Saw melakukan salat gaib, tetapi juga kepada tiga sahabat lainnya. Yaitu Mu’awiyah bin Mu’awiyah al-Muzanni yang wafat di Madinah, Zaid bin Haritsah dan Ja’far bin Abu Thalib yang keduanya menjemput syahid dalam pertempuran Mu’tah saat melawan kekaisaran Romawi Timur.
Namun, yang paling sering dibicarakan ulama sebagai dalil salat gaib adalah salat yang dilakukan Nabi saw kepada raja yang dikaruniai Islam di penghujung usianya. Hal ini dikarenakan dalil Nabi saw salat gaib atas Raja Najasyi adalah hadis sahih, bahkan disepakati oleh Imam al-Bukhari dan Muslim.
Di antara dalil tersebut adalah riwayat dari Abu Hurairah ra yang artinya:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم نَعَى النَّجَاشِيَّ فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ، وَخَرَجَ بِهِمْ إِلَى الْمُصَلَّى، فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ عَلَيْهِ أَرْبَعًا. (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)
”Sungguh Nabi saw memberitakan kabar kematian Raja Najasyi di hari kewafatannya, lalu beliau bersama para sahabatnya keluar ke tempat salat, membariskan sahabatnya dan bertakbir sebanyak empat kali (salat gaib).” (Alawi Abbas al-Maliki, Hasan Sulaiman an-Nuri, Ibânatul Ahkâm Syarhul Bûlugil Marâm, juz II, halaman 173).
Sementara hadis yang menyatakan Nabi saw salat gaib untuk sahabat Mu’awiyah bin Mu’awiyah al-Muzanni atau al-Laitsi adalah hadis dha’if (lemah) sebagaimana dikatakan al-Bukhari dan al-Baihaqi.
Adapun Abu Hatim dan ad-Daruquthni menyebutnya sebagai hadis matrûk (yang harus ditinggalkan atau tak layak diikuti). Demikian ini karena kelemahan salah seorang perawinya yaitu al-Ala’ bin Zaid atau al-Ala’ bin Ziyad.
Sementara Ibnul Qayyim mengatakan, bahwa hadis Nabi saw salat gaib untuk Mu’awiyah bin Mu’awiyah tidak sah dijadikan pegangan, karena salah seorang perawinya adalah al-Ala’ bin Zaid.” (Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Abdillah as-Syaukani, Nailul Authâr, juz IV, halaman 57).
Imam ad-Dzahabi mengatakan, “Lâ na’lamu fish shahâbah Mu’awiyah bin Mu’awiyah” (Kami tak pernah tahu ada sahabat bernama Mu’awiyah bin Mu’awiyah). Lebih tegas lagi Imam Ibnud Dini berkata, ”Kâna yadha’ul hadîts” (Al-Ala’ bin Zaid itu membuat-buat hadis).
Adapun riwayat Nabi saw salat gaib atas dua sahabatnya yang gugur dalam perang Mu’tah juga tak dapat dijadikan pijakan hukum, karena hadisnya dinyatakan mursâl (putus dari perawi sahabat), dan perawinya, Imam al-Waqidi, yang meriwayatkannya dalam kitab al-Maghâzi dinyatakan dha’îf. Syekh al-Adhim al-Abdi mengatakan:
”Hadisnya tergolong hadis mursal, sedangkan al-Waqidi adalah perawi yang sangat lemah.” (Syamsul Haqq al-Adhim al-Abdi, Aunul Ma’bûd Syarhu Sunan Abi Dawûd, juz IX, halaman 21).
Dari sini dapat disimpulkan, bahwa satu-satunya dalil yang layak menjadi sumber hukum salat gaib adalah hadis tentang Raja Najasyi.
Niat Salat Gaib
Salat gaib memiliki hukum yang sama dengan salat jenazah yang ada di tempat, yakni fardhu kifâyah. Artinya, salat gaib cukup untuk menggugurkan kewajiban salat jenazah, dengan catatan diketahui secara nyata bahwa ada orang yang telah melakukannya.
Untuk niatnya, dapat diklasifikasi tergantung jenis kelamin, jumlah jenazah dan status mushalli-nya apakah menjadi imam, makmum, atau salat sendiri.
Bila jenazahnya laki-laki maka lafal niatnya adalah:
صَلِّي عَلَى مَيِّتِ (فُلَانِ) الْغَائِبِ أَرْبَعَ تَكْبِيرَاتٍ فَرْضَ الْكِفَايَةِ إِمَامًا/مَأْمُومًا لِلّٰهِ تَعَالَى
Ushallî ‘alâ mayyiti (fulân) al-ghâ-ibi arba’a takbîrâtin fardhal kifayâti imâman/ma’mûman lillâhi ta’âlâ.
Artinya: ”Saya menyalati jenazah ‘Si Fulan (sebutkan namanya)’ yang berada di tempat lain empat takbir dengan hukum fardhu kifâyah sebagai imam/makmum karena Allah ta’âlâ.”
Bila jenazahnya perempuan, maka lafal niatnya adalah:
أُصَلِّي عَلَى مَيِّتَةِ (فُلَانَةٍ) الْغَائِبَةِ أَرْبَعَ تَكْبِيرَاتٍ فَرْضَ الْكِفَايَةِ إِمَامًا/مَأْمُومًا لِلّٰهِ تَعَالَى
Ushalli ‘ala mayyitati ‘fulanah’ al-gaibati arba’a takbiratin fardhal kifayâti imaman/ma’muman lillahi ta’ala.
Artinya: ”Saya menyalati jenazah ‘Si Fulanah (sebutkan namanya)’ yang berada di tempat lain empat takbir dengan hukum fardhu kifâyah sebagai imam/makmum karena Allah ta’âlâ.”
Bila jenazahnya adalah dua laki-laki/satu laki-laki dan satu perempuan/dua perempuan, maka lafal niatnya:
أُصَلِّي عَلَى مَيِّتَيْنِ/مَيِّتَتَيْنِ (فُلَانٍ وَفُلَانٍ-فُلَانٍ وَفُلَانَةٍ/فُلَانَةٍ وَفُلَانَةٍ) الْغَائِبَيْنِ/الْغَائِبَتَيْنِ أَرْبَعَ تَكْبِيرَاتٍ فَرْضَ الْكِفَايَةِ إِمَامَا/مَأْمُومًا لِلّٰهِ تَعَالَى
Ushallî ‘alâ mayyitaini/mayyitataini ‘Fulânin wa Fulânin—Fulân wa Fulânah/Fulanâh wa Fulânah’ al-gaibaini/al-gaibataini arba’a takbîrâtin fardhal kifayâti imâman/ma’mûman lillâhi ta’âlâ.
Artinya: ”Saya menyalati dua jenazah ‘Si Fulan dan Si Fulan/Si Fulan dan Si Fulanah/Si Fulanah dan Si Fulanah (sebutkan namanya)’ yang berada di tempat lain empat takbir dengan hukum fardhu kifâyah sebagai imam/makmum karena Allah ta’âlâ.”
Bila jenazahnya banyak, misalnya korban bencana alam yang menimpa satu desa, maka lafal niatnya adalah:
أُصَلِّي عَلَى جَمِيعِ مَوْتَى قَرْيَةِ كَذَا الْغَائِبِينَ الْمُسْلِمِينَ أَرْبَعَ تَكْبِيرَاتٍ فَرْضَ الْكِفَايَةِ إِمَامَا/مَأْمُومًا لِلّٰهِ تَعَالَى
Ushallî ‘alâ jamî’i mautâ qaryati kadzâl gaibînal muslimîna arba’a takbîrâtin fardhal kifayâti imâman/ma’mûman lillâhi ta’âlâ.
Artinya: ”Saya menyalati seluruh umat muslim yang jadi korban di desa ‘...’ (sebutkan nama desanya) yang berada di tempat lain empat takbir dengan hukum fardhu kifâyah sebagai imam/makmum karena Allah ta’âlâ.”
Namun, bila dirasa sulit menghafalkan teks arabnya, kita boleh menggunakan terjemahnya baik dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah masing-masing.
Tata Cara Salat Gaib
Salat gaib hukumnya sah sebagaimana salat jenazah. Begitupula bacaan dan segala caranya sama dengan salat jenazah. Dengan empat takbir tanpa rukuk dan sujud.
Diawali dengan niat, kemudian membaca surat al-fatihah setelah takbir pertama (takbiratul ihram). Kemudian takbir kedua membaca selawat atas nabi minimal shalawat pendek ”allahumma shalli ‘ala sayyidina Muhammad”.
Lalu mendoakan mayit setelah takbir ketiga yang berbunyi:
اللهم اغفر له وارحمه وعافه واعف عنه
Allahummaghfirlahu, warhamhu, wa ‘afihi wa’fu anhu (untuk Jenazah laki-laki) Allahummaghfirlaha, warhamha, wa ‘afihi wa’fu anha (untuk Jenazah perempuan) Artinya: ”Ya Allah ampuniah dia, berilah dia rahmat dan sejahterakan serta maafkanlah dia.”
Dan terakhir, setelah rakaat keempat disunnahkan membaca doa sebelum salam. Adapun doa setelah takbir keempat adalah:
اللهم لاتحرمنا أجره ولاتفتنا بعده واغفرلنا وله
Allahumma la tahrimna ajrahu wala taftinna ba’dahu waghfirlana walahu
Artinya: ”Ya Allah, janganlah Engkau halangi pahalanya yang akan sampai kepada kami, dan jangan Engkau memberi fitnah kepada kami sepeninggalnya serta ampunilah kami dan dia.”
Syarat Sah Salat Gaib
Syarat sah salat gaib selain syarat-syarat pada umumnya, setidaknya terangkum dalam dua hal berikut:
Pertama, jenazah berada di luar daerah yang jauh dari jangkauan, atau di tempat yang dekat namun sulit dijangkau. Karena itu, jika masih berada dalam daerah, walaupun jauh dan tak sulit dijangkau, maka tidak sah melakukan salat gaib. Demikian pula kalau jenazahnya berada di batas daerah, dan kita dekat dengan tempat tersebut, maka tidak sah melakukan salat gaib.
Kedua, telah mengetahui atau menduga kuat bahwa jenazahnya sudah dimandikan. Kalau tidak, maka salat gaibnya tidak sah. Namun, bila ia menggantungkan salat Gaibnya dengan sucinya jenazah tersebut (bahwa telah dimandikan), salatnya dihukumi sah. Misalnya, dalam niat ia mengatakan, “Saya menyalati jenazah ‘Si Fulan’... dan seterusnya, dengan catatan di sudah suci atau sudah dimandikan ...” maka salatnya juga sah.