Dalam sebuah majelis, Rasulullah mengujinya dengan meminta Zaid membaca surat yang telah dihafalnya, dan ia mampu melakukannya dengan lancar.
Mengutip dari buku Ensiklopedia Ulama Fiqih Sepanjang Masa karya Abdullah Musthafa Al-Maraghi, pada usia 11 tahun, Zaid telah menghafal 11 surat Al Qur’an. Kemampuan ini membuatnya dipercaya sebagai penulis wahyu dan surat-surat Rasulullah.
Selain itu, Nabi Muhammad juga memintanya untuk mempelajari bahasa Ibrani agar dapat berkomunikasi dengan orang-orang Yahudi. Dalam waktu 15 hari, Zaid berhasil menguasai bahasa tersebut. Tak hanya itu, ia juga belajar bahasa Suryani dan menguasainya dalam 17 hari.
Di samping tugasnya sebagai penulis wahyu, Zaid juga terjun ke medan perang. Sejak usia 11 tahun, ia telah meminta izin kepada Nabi untuk ikut berjihad. Namun, ia baru diperbolehkan bergabung dalam peperangan ketika berusia 19 tahun.
Proses ini dilakukan dengan mengumpulkan wahyu yang telah ditulis di pelepah kurma, batu, serta hafalan para sahabat.
Murianews, Jakarta – Zaid bin Tsabit merupakan salah seorang sahabat Nabi Muhammad yang memiliki banyak keistimewaan. Salah satu peran besarnya dalam sejarah Islam adalah penyusun Al Qur’an menjadi satu mushaf setelah wafatnya Nabi.
Zaid bin Tsabit lahir di Madinah pada tahun 610 M. Sejak kecil, ia menunjukkan kecerdasan luar biasa, terutama dalam menghafal Al Qur’an. Saat usianya baru enam tahun, bakatnya mulai menarik perhatian Nabi Muhammad yang baru saja hijrah ke Madinah.
Dalam sebuah majelis, Rasulullah mengujinya dengan meminta Zaid membaca surat yang telah dihafalnya, dan ia mampu melakukannya dengan lancar.
Mengutip dari buku Ensiklopedia Ulama Fiqih Sepanjang Masa karya Abdullah Musthafa Al-Maraghi, pada usia 11 tahun, Zaid telah menghafal 11 surat Al Qur’an. Kemampuan ini membuatnya dipercaya sebagai penulis wahyu dan surat-surat Rasulullah.
Selain itu, Nabi Muhammad juga memintanya untuk mempelajari bahasa Ibrani agar dapat berkomunikasi dengan orang-orang Yahudi. Dalam waktu 15 hari, Zaid berhasil menguasai bahasa tersebut. Tak hanya itu, ia juga belajar bahasa Suryani dan menguasainya dalam 17 hari.
Di samping tugasnya sebagai penulis wahyu, Zaid juga terjun ke medan perang. Sejak usia 11 tahun, ia telah meminta izin kepada Nabi untuk ikut berjihad. Namun, ia baru diperbolehkan bergabung dalam peperangan ketika berusia 19 tahun.
Setelah wafatnya Rasulullah pada tahun 632 M, Zaid bin Tsabit berperan besar dalam pengumpulan Al Qur’an. Khalifah Abu Bakar menunjuknya untuk mengumpulkan dan menyusun ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf.
Proses ini dilakukan dengan mengumpulkan wahyu yang telah ditulis di pelepah kurma, batu, serta hafalan para sahabat.
Menulis wahyu...
Dalam Shahih Bukhari, Zaid bin Tsabit meriwayatkan perintah Abu Bakar kepadanya:
”Sesungguhnya kamu adalah pemuda yang berakal (cerdas). Kami tidak meragukanmu, dan kamu dahulu pernah menulis wahyu untuk Rasulullah SAW. Maka lakukan penelitian kembali dan kumpulkan kembali (untuk ditulis dalam satu mushaf).”
Proses panjang tersebut menghasilkan mushaf pertama yang disimpan oleh Abu Bakar, kemudian diwariskan kepada Umar bin Khattab, dan akhirnya disimpan oleh Hafshah, putri Umar.
Pada masa Khalifah Utsman bin Affan, Zaid kembali ditugaskan untuk menyalin mushaf agar tidak terjadi perbedaan bacaan di berbagai wilayah Islam. Mushaf ini dikenal sebagai Mushaf Utsmani, yang menjadi standar bacaan Al Qur’an hingga kini.
Selain sebagai juru tulis wahyu, Zaid bin Tsabit juga dikenal sebagai ahli fiqih, qadhi, dan perhitungan waris. Khalifah Umar bin Khattab pernah berkata:
”Barangsiapa yang ingin bertanya tentang Al Qur’an, hendaklah ia datang kepada Zaid bin Tsabit.”
Zaid juga meriwayatkan 92 hadis, lima di antaranya disepakati oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Zaid bin Tsabit wafat pada tahun 660 M dalam usia 49 atau 50 tahun. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam bagi umat Islam, terutama karena jasa-jasanya dalam menjaga kemurnian Al Qur’an.
Hingga kini, hasil kerja kerasnya dalam penyusunan Al Qur’an terus diwarisi oleh umat Islam di seluruh dunia.