Rabu, 19 November 2025

Murianews, Pati – Ngaji NgAllah Suluk Maleman memasuki edisi ke 161, Sabtu (17/5/2025) malam. Agenda di Rumah Adab Indonesia Mulia itu menyoroti fenomena autoimun di masyarakat.

Dalam kajian yang dipimpin Penggagas Suluk Maleman, Anis Sholeh Ba'asyin itu, kondisi masyarakat saat ini, bak penyakit autoimun sebagaimana pengertian medis.

Di mana, autoimun merupakan kondisi sistem kekebalan tubuh atau antibodi yang diproduksi, justru menggerogoti tubuh.

Anis Sholeh mengatakan, kondisi tersebut sedianya telah terjadi di kehidupan sosial. Ia mencontohkan fenomena-fenomena yang ada saat ini.

Seperti, kala tentara yang harusnya menjadi antibodi menjaga masyarakat dari ancaman luar, tiba-tiba justru memposisikan masyarakat yang harus dijaga sebagai ancaman.

”Atau penegak hukum, yang harusnya menjaga masyarakat dari para pelanggar hukum, tiba-tiba menggeneralisasi masyarakat sebagai pelanggar hukum,” ujarnya.

Contoh lain, ketika politisi yang harusnya menyalurkan aspirasi justru memanipulasi masyarakat dan menindasnya. Ia juga mencobtohkan, ASN yang harusnya melayani, justru menggerogoti kehidupan masyarakat.

”Baik terjadi secara terpisah, apalagi bila berlangsung secara bersamaan, maka bisa dipastikan ini akan melumpuhkan kehidupan masyakat,” ujarnya.

Selain Itu... 

Selain itu, Anis Sholeh juga menyebut adanya gejala lain yang muncul, baik itu organik maupun hasil rekayasa dalam kehidupan masyarakat.

Menurutnya, kemunculan itu berawal dari kebencian dan permusuhan antarkelompok maupun di dalam kelompok maupun golongan itu sendiri.

Gejala itu disebutnya akan melemahkan kohesifitas ”tubuh” masyarakat itu sendiri. Apalagi ketika eskalasinya meningkat dan melahirkan konflik horizontal.

”Dengan beragam cara, kekuasaan, apalagi kekuasaan modern, cenderung menciptakan  autoimun jenis ini demi menjaga dan melanggengkan kekuasaannya. Mereka sengaja merekayasa dan memprovokasi konflik yang secara potensial ada di masyarakat,” katanya.

Bahkan, Anis melanjutkan, mereka sengaha menanam potensi konflik baru. Tujuannya, tak lain agar masyarakat terpecah belah. Dengan begitu, mereka lebih mudah dikuasai.

Ada dua contoh yang dijelaskannya, yakni isu nasab sebagai contoh dari rekayasa potensi konflik serta isu cebong-kampret yang sengaja ditanam untuk memecah belah berdasarkan perbedaan pandangan politik.

Ironisnya, perpecahan itu justru diestafetkan dari generasi ke generasi. Anis mengibaratkan itu sebagai bom waktu untuk masa depan bangsa.

”Ada hadits menarik, mencintailah secukupnya dan membencilah secukupnya. Jangan terlalu mencintai, karena siapa tahu yang kamu cintai suatu saat menjadi musuhmu. Jangan pula terlalu membenci, karena mungkin yang kamu benci suatu saat bisa jadi sahabatmu,” ujarnya.

Dalam Islam...

Ia menjelaskan, dalam Islam, mencintai dan membenci harus karena Allah. Allah harus menjadi pusat yang menghubungkan antar mahluk.

Kalau posisi Allah disingkirkan, maka baik hubungan cinta mau pun benci bisa menjadi destruktif. Itu karena semua manusia pasti punya kelemahan dan kekurangan yang bisa menjadi amunisi lahirnya konflik.

Anis pun mengkritik penggunaan istilah muhibbin, karena menurutnya itu hanya adopsi dari istilah fans atau follower dalam dunia selebritas modern.

”Dalam Islam yang dikenal adalah saling menyayangi. Bukan hanya satu arah tapi dua arah. Istilah thogut itu ketika kita memberhalakan sesuatu. Memuja sesuatu dengan berlebihan. Kalau seperti itu pasti ditindas,” ucapnya.

Pengasuh Sampak GusUran itu juga mengingatkan pentingnya berkumpul dengan orang saleh. Tataran saleh yakni orang yang terus bertumbuuh kebaikannya.

”Sholeh itu tidak statis, tapi dinamis. Bukan hanya selalu ke masjid, namun yang terus berusaha menjadi lebih baik dari sebelumnya. Orang yang beruntung adalah orang yang lebih baik dari sebelumnya,” imbuhnya.

Anis menjelaskan, saling mencintai dan menyayangi merupakan metode inter personal terbaik guna menghindari gejala“autoimun” dalam kehidupan sosial.

Butuh Siraman... 

Ibarat sebuah tanaman, masyarakat membutuhkan siraman dari sosok yang terpercaya untuk membimbing mereka.

”Adam bisa disebut kholifah setelah tidak terikat dengan kepentingan duniawi. Nah dalam sebuah komunitas sosial tentu penting hadirnya sosok dalam tingkat tertentu sudah terbebas dari ikatan dunia. Mereka inilah yang mampu memilah  dan memilih secara tepat, sehingga bisa menuntun masyarakat,” ucapnya.

Celakanya, Anis melanjutkan, dalam proses menuju autoimun, sosok-sosok semacam ini justru menjadi sasaran pertama untuk dibunuh karakternya sehingga masyarakat kehilangan sumber utama pemroduksi dan pengendali antibodi sosial.

Anis menyebut bangsa Indonesia memiliki banyak nilai positif. Nilai positif itu bisa menjadi sistem imun dalam menangkal hal buruk.

”Bangsa ini disebut berada di deretan ke empat negara paling miskin di dunia. Anehnya, penelitian lain menyebut sebagai bangsa  yang ada di deretan kedua bangsa paling bahagia di dunia. Hal itu bisa terjadi karena kuatnya interaksi dan saling bantu di masyarakat kita. Bahkan nongkrong di pos ronda saja sudah bisa membuat kita bahagia. Saya harap nilai semacam itu jangan sampai dihancurkan.Tak perlu silau budaya luar namun justru merusak tradisi luhur bangsa kita,” ujar Anis.

Komentar