Rabu, 19 November 2025

Murianews, Blora – Kabupaten Blora memiliki masjid bersejarah. Selain Masjid Agung Baitunnur di Alun-Alun Blora, ada juga Masjid Baiturrahman di Desa Ngadipurwo, Kecamatan Blora, Kabupaten Blora. Dari jantung kota, jaraknya sekitar 7 kilometer ke utara.

Bangunan masjid dengan desain joglo begitu menyatu dengan suasana desa di sana. Di sekitar masjid terdapat Kompleks Makam Tirtonatan yang merupakan persemayaman pemimpin Blora periode 1762-1782, Adipati Djajeng Tirtonoto.

Keberadaannya pun makin mengukuhkan Masjid Baiturrahman sebagai masjid tertua di Blora. Diperkirakan, Masjid Baiturrahman sudah berusia lebih dari satu abad.

Bukti lainnya yakni, banyaknya ornamen-ornamen kuno yang masih utuh dan tak tergantikan. Masjid Baiturrahman pun telah dikukuhkan sebagai bangunan cagar budaya.

Pemerhati sejarah, Dalhar Muhammadun mengatakan sejatinya Masjid Baiturrahman dan Masjid Baitunnur itu berdirinya hampir berbarengan.

Dua masjid itu, sama-sama didirikan Raden Tumenggung (RT) Djajeng Tirtonoto yang saat itu sebagai Bupati Blora.

”Keduanya didirikan oleh Raden Djajeng. Masjid Agung Baitunnur didirikan tahun 1774. Kalau Masjid Ngadipurwo (nama lain Masjid Baiturrahman, red) itu awalnya sebuah surau atau langgar,” ucapnya, jumat (29/03/2024).

Setelah RT Djajeng Tirtonoto meninggal pada 1785 dan dimakamkan di kompleks makam Keluarga Tirtonatan, keberadaan masjid dilanjutkan anaknya, RT Prawirojoedo yang juga menjabat Bupati Blora di periode 1812-1823.

Lambatlaun, masjid tersebut direhabilitasi pada 1814 karena ada beberapa kerusakan. Seperti kayu-kayu yang mulai rapuh.

”Awalnya bentuknya kayu semua. Semakin lama kan juga rapuh, terus dibetulin sama Bupati Prawirojoedo,” terang Madun.

Setelah puluhan tahun berdiri, langgar Ngadipurwo kemudian diubah menjadi Masjid Baiturrahman. Tepatnya pada 19 Agustus 1894. Saat itu perbaikan dilakukan Raden Mas Adipati Arya (RMAA) Tjokronegoro III yang juga Bupati Blora periode 1857-1886.

Bupati Tjokronegoro ini memang dikenal sebagai sosok yang taat beribadah dan mengamalkan nilai-nilai keagamaan.

”Sebelum Langgar Ngadipurwo menjadi masjid, mengalami 3 kali perubahan. Direhab terakhir tahun 1894. Yang saat itu oleh Bupati Tjokronegoro III,” ucap Madun yang juga seorang penulis.

Meskipun mengalami beberapa kali pembenahan, keaslian kayu masih terjaga. Beberapa ornamen tampak lawas. Di antaranya pilar berbahan kayu jati, tembok yang cukup tebal, serta bedug diletakkan di serambi.

Selain itu, mimbar khatib dan Mustaka Masjid yang berbentuk mirip seperti mahkota raja jawa. Termasuk prasasti berbentuk ukiran kaligrafi terdapat di sebelah kanan pintu masuk masjid.

Menariknya lagi terdapat versi lain tentang Masjid Baiturrahman ini. Menurut Madun, versi lain yaitu versi masyarakat sekitar. Masjid itu diyakini merupakan hasil pemindahan dari Desa Purwosari, Kecamatan Blora ke Ngadipurwo.

”Bangunan itu pemindahan Masjid dari Purwosari, saat itu ada tokoh ulama Amiruddin. Versi masyarakat, Masjid diboyong serta kyainya (Amiruddin, red). Kyai Amiruddin, cucu Kyai Abdul Qohar Ngampel, tokoh penyebar Islam di Blora di periode yang lebih awal,” ucap Madun.

Sosok Kiai Amiruddin itu masih diperingati haulnya setiap tahun oleh masyarakat Desa Purwosari. Meski begitu, keberadaan makamnya masih belum diketahui hingga kini.

”Ada tanah kosong katanya bekas masjid di Purwosari. Masyarakat Purwosari masih menokohkan Kyai Amirudin, masih dihauli. Sementara Kyai Amiruddin makamnya belum ada yang mengetahui keberadaannya,” ucap Madun.

Cerita itu juga diamini Ketua Takmir Masjid Baiturrahman, Azizi Malik. Ia mengatakan, usai dipindahkan, kemudian beberapa tahun kemudian langgar tersebut didirikan menjadi masjid.

”Masjid ini dulu ceritanya dari Purwosari dipindahkan oleh Kiai Amirudin, dan kemudian didirikan di Desa Ngadipurwo pada tahun 1894 oleh Bupati Blora R.T. Tjokronegoro III,” ucapnya.

Masjid dipindahkan ke Ngadipurwo di sebidang tanah yang dahulunya berdiri langgar yang dibangun Raden Djajeng. Azizi menyebut, Tjokronegoro mendirikan masjid itu pada tanggal 19 Agustus 1894. Dari waktu tersebut masyarakat meyakini bangunan masjid masih terjaga keutuhannya.

”Mimbar masih asli, pilar dan tembok asli, bedug juga. Selain itu yang asli sebagian sudah pada rusak misalnya lampu zaman dulu tapi sudah banyak yang rusak,” jelas Azizi.

Editor: Zulkifli Fahmi

Komentar

Terpopuler