Rabu, 19 November 2025


Kewajiban membayar zakat fitrah bersamaan dengan disyariatkan puasa Ramadan, yaitu pada tahun kedua Hijriah. Kewajiban membayar zakat fitrah dibebankan kepada setiap muslim dan muslimah, baligh atau belum, kaya atau tidak, dengan ketentuan bahwa ia masih hidup pada malam hari raya dan memiliki kelebihan dari kebutuhan pokoknya untuk sehari.

Umumnya, zakat fitrah yang disalurkan itu dalam bentuk bahan makanan pokok, seperti beras. Namun, ada juga yang membayarkan dalam bentuk uang. Lantas bagaimana zakat fitrah dalam bentuk uang ini?

Baca juga: Zakat Fitrah Orang Perantauan Sebaiknya Ditunaikan di Mana? Ini Jawabannya

Melansir dari laman NU Online, Senin (17/4/2023), Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Bahaudin Nursalim (Gus Baha) menjelaskan, zakat fitrah boleh menggunakan uang asalkan setara dengan takaran yang telah ditentukan, satu sha’ atau empat mud.

Hal itu merujuk pada beberapa kitab fiqih, di antaranya I’anah ath-Thalibin Syarh Fathul Mu’in dan Tarsyihul Mustafidin. Meskipun menurut Gus Baha ada penjelasan-penjelasan dari kitab Fathul Mu’in yang kurang relevan di Indonesia. Misalnya soal zakat.

”Zakat itu harus berupa beras, tapi Abu Hanifah membolehkan pake dinar. Itu kalau Syarah relatif stabil karena dia fleksibel mengikuti perubahan zaman.” katanya, dalam salah satu tayangan Youtube.

Alasannya, pemberian uang ditekankan karena orang lebih membutuhkan uang untuk berbelanja daripada beras yang umumnya mereka sudah punya.

”Syarah itu justru menyebutkan, uang lebih bermanfaat bagi orang-orang. Sekarang orang kalau mau kasih beras, terus yang untuk belanja mana? Inginnya belanja kok dikasih beras,” ujar Pengasuh Pondok Pesantren Tahfidz Al-Qur’an LP3IA Narukan, Rembang itu.

Gus Baha menceritakan pengalamannya berzakat ketika di perantauan, dirinya mengaku bahwa selalu menambahkan jumlah beras yang hendak ia berikan ke mustahiq. Misalnya 2,5 kg menjadi 3 kg bahkan seringkali dilebihkan menjadi 5 kg beras.

”Saya zakat selalu 3 kg, tidak pernah 2,5 kg. Karena 2,5 kg itu pas-pasan. Makanya saya zakat pertama itu 3 kg, sekarang 5 kg,” ucapnya.
Ia tak menampik bahwa bagi mazhab Syafi’i, zakat fitrah yang dikeluarkan harus berupa beras. Namun, menurut mazhab Hanafi dari Abu Hanifah, zakat diperbolehkan menggunakan dinar atau uang.Korversi zakat fitrah dari beras menjadi uang, menurutnya bukan tidak menghargai fatwa Imam Syafi’i, melainkan pada saat ini kenyataannya orang-orang lebih membutuhkan uang untuk berbelanja, daripada beras.”Jadi, saya tetap manut kepada Imam Syafi’i tapi realistis. Karena kebanyakan orang lebih membutuhkan uang,” jelasnya.Dahulukan kerabat dekat Diceritakan pula bahwa dirinya seringkali ditanya bagaimana cara penyaluran zakat yang benar, lebih baik diberikan kepada panitia masjid atau diberikan sendiri.   Jawabannya, kata Gus Baha, jika niat muzaki bercampur dengan curiga terhadap panitia masjid, maka zakat sebaiknya diberikan kepada masjid. ”Kalau kamu dengki ingin mengomentari panitia masjid, saya jawab, mending kamu berikan masjid biar sifat dengkimu itu kamu lawan sendiri,” jelasnya.Sebaliknya, sambung dia, jika pertanyaan itu objektif sesungguhnya menentukan siapa yang akan menerima zakat fitrah itu lebih mudah, yakni dahulukan kerabat dekat. ”Aturan Al-Qur’an sudah jelas dahulukan orang yang punya unsur kerabat. Misalnya keponakan yang memang tidak wajib saya tanggung seperti istri/anak,” terang ulama ahli tafsir Al-Qur’an dan Hadis asal Rembang itu.Sebagai informasi, polemik berzakat menggunakan uang sudah banyak dibahas oleh sejumlah kalangan, termasuk Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU).Dalam keputusannya, argumentasi atas kebolehan pelaksanaan kewajiban zakat fitrah dengan uang sebesar nominal harga beras 2,7 kg/2,5 kg dibangun atas pertimbangan sebagai berikut:Pertama, sebagian ulama menilai tujuan di balik kewajiban zakat sebagai hikmah saja yang tidak mengandung muatan hukum. Meski demikian, sebagian ulama lain yang membolehkan konversi zakat fitrah dari serealia ke bentuk uang menilai hadis Rasulullah saw yang menjelaskan tentang tujuan di balik diberlakukannya kewajiban zakat fitrah. Yakni, agar pada hari itu para penerima zakat dapat menikmati hidup selayaknya orang yang mampu.Kedua, sebagian ulama lain (lagi) membolehkannya selama tidak menghasilkan formulasi hukum yang bertentangan dengan ijma’. Apabila bertentangan dengan ijma’, maka perpaduan mazhab dilarang seperti perkawinan tanpa mas kawin, tanpa wali, dan tanpa saksi. Sungguh perpaduan semacam itu tidak diperbolehkan oleh seorang pun dari kalangan ulama.

Baca Juga

Komentar