Bulan Ramadan memiliki keutamaan dan keistimewaan yang besar. Semua amal saleh yang dilakukan pada bulan ini akan mendapat balasan lebih banyak dan lebih baik.
Bulan suci Ramadan merupakan sebuah momentum penting bagi umat muslim. Pada bulan ini, semua orang berlomba-lomba untuk berbuat kebaikan dan beribadah kepada Allah SWT.
Baca juga: Raih Kemuliaan Ramadan dengan Lailatul Qadar, Begini CaranyaAda banyak amalan sunnah yang dilakukan pada bulan Ramadan. Salah satunya adalah melakukan
iktikaf di masjid.
Melansir dari laman NU Online, Rabu (5/4/2023), kendati termasuk amalan sunnah yang bisa dilakukan kapan saja, tetapi khususnya di bulan Ramadan, iktikaf lebih dianjurkan, terutama di sepuluh malam terakhir. Keutamaannya pun sangat besar, terlebih menjadi bagian dari upaya meraih keutamaan lailatul qadar.
Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah saw. bahkan menyatakan bahwa iktikaf di sepuluh malam terakhir bagaikan beriktikaf bersama beliau.
مَنِ اعْتَكَفَ مَعِي فَلْيَعْتَكِفَ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ
Artinya: ”Siapa yang ingin beriktikaf bersamaku, maka beriktikaflah pada sepuluh malam terakhir,” (HR Ibnu Hibban).
Secara terminologi, iktikaf adalah berdiam diri di masjid disertai dengan niat. Tujuannya adalah semata beribadah kepada Allah, khususnya ibadah yang biasa dilakukan di masjid.
Demi meraih keutamaan yang lebih besar, seseorang tentu dapat memperbanyak ragam niatnya, seperti berniat mengunjungi dan menghormati masjid sebagai rumah Allah, berzikir dan mendekatkan diri kepada-Nya, mengharap rahmat dan rida-Nya, bermuhasabah, mengingat hari akhir, mendengarkan nasihat dan ilmu-ilmu agama, bergaul dengan orang-orang saleh dan cinta kepada-Nya, memutus segala hal yang dapat melupakan akhirat, dan sebagainya.
Iktikaf dapat dilakukan setiap saat, termasuk pada waktu-waktu yang diharamkan salat. Hukum asalnya adalah sunnah, tapi bisa menjadi wajib apabila dinazarkan. Kemudian, hukumnya bisa menjadi haram bila dilakukan oleh seorang istri atau hamba sahaya tanpa izin, dan menjadi makruh bila dilakukan oleh perempuan yang bertingkah dan mengundang fitnah meski disertai izin.
Melakukannya pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadan, lebih diutamakan utama dibanding pada waktu-waktu yang lain, demi menggapai keutamaan lailatul qadar yang waktunya dirahasiakan Allah.
Karena dirahasiakan itulah, maka siapa pun kita harus senantiasa mengisi malam-malam Ramadan dengan berbagai amaliah, baik wajib maupun sunnah, dengan tujuan agar tidak terlewatkan.
Adapun rukun iktikaf sendiri ada empat: (1) niat, (2) berdiam diri di masjid sekurang-kurangnya selama tumaninah shalat, (3) masjid, dan (4) orang yang beri’tikaf. Kemudian, syarat orang yang beri’tikaf adalah beragama Islam, berakal sehat, dan bebas dari hadas besar. Artinya, tidak sah iktikaf dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi syarat tersebut.
Saat berniat, seorang yang beriktikaf harus menyebutkan status fardhu iktikafnya apabila iktikaf tersebut dinadzarkan. Dan berdasarkan pendapat kuat, seluruh iktikaf itu menjadi fardhu, baik ditentukan lamanya maupun tidak.
Kemudian, macam-macamnya ada tiga: (1) iktikaf mutlak, (2) iktikaf terikat waktu tanpa terus-menerus, (3) iktikaf terikat waktu dan terus-menerus.
Iktikaf mutlak walaupun lama waktunya cukuplah berniat sebagai berikut:
نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ للهِ تَعَالَى
Artinya: ”Aku berniat iktikaf di masjid ini karena Allah.”Sedangkan iktikaf yang terikat waktu, selama satu bulan misalnya, niatnya adalah sebagai berikut:
نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ يَوْمًا/لَيْلًا كَامِلًا/شَهْرًا لِلهِ تَعَالَى
Artinya: ”Aku berniat iktikaf di masjid ini selama satu hari/satu malam penuh/satu bulan karena Allah.”
نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ شَهْرًا مُتَتَابِعًا
Artinya: ”Aku berniat iktikaf di masjid ini selama satu bulan berturut-turut karena Allah.”Sementara niat iktikaf yang dinadzarkan adalah sebagai berikut:
نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ فَرْضًا للهِ تَعَالَى
Artinya: ”Aku berniat iktikaf di masjid ini fardhu karena Allah.”
نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ شَهْرًا مُتَتَابِعًا فَرْضًا للهِ تَعَالَى
Artinya: ”Aku berniat iktikaf di masjid ini selama satu bulan berturut-turut fardhu karena Allah.”Hanya saja, dalam iktikaf mutlak, jika seseorang keluar dari masjid tanpa maksud kembali, kemudian kembali, maka ia harus berniat lagi. Dan iktikaf keduanya dianggap sebagai iktikaf baru.Berbeda halnya jika ia berniat kembali, baik kembalinya ke masjid semula maupun ke masjid lain, maka niat sebelumnya tidak batal dan tidak perlu niat baru.Adapun yang membatalkan iktikaf ada sembilan: (1) berhubungan suami-istri, (2) mengeluarkan sperma, (3) mabuk yang disengaja, (4) murtad, (5) haidh, selama waktu iktikaf cukup dalam masa suci biasanya, (6) nifas, (7) keluar tanpa alasan, (8) keluar untuk memenuhi kewajiban yang bisa ditunda, (9) keluar disertai alasan hingga beberapa kali, padahal keluarnya karena keingingan sendiri.Kapan pun di antara kesembilan perkara itu menimpa seseorang yang beriktikaf maka batallah iktikafnya. Dan batal pula kelangsungan dan kelanggengan iktikaf yang terikat dengan waktu yang berturut-turut. Sehingga seseorang harus mengawalinya dari awal, meskipun iktikaf yang telah dilakukannya bernilai pahala selama yang membatalkannya bukan murtad.Sedangkan dalam iktikaf yang terikat waktu yang tak berturut-turut, maksud batal di sana adalah waktu batal tidak dihitung sebagai bagian dari iktikaf. Jika ia memulainya lagi, hendaknya memperbaharui niat dan menggabungkannya dengan iktikaf sebelumnya.Kemudian, dalam iktikaf mutlak, maksud batal di sana hanya terputus kelangsungan iktikafnya saja, sehingga tidak bisa disambungkan dengan iktikaf sebelumnya, tidak pula bisa diperbaharui. Namun, iktikaf itu dianggap sah dan berdiri sendiri-sendiri.Demikian sekilas tentang iktikaf yang disarikan dari Bâb al-I‘tikâf dalam kitab Nihâyah al-Zain fî Irsyâd al-Mubtadi’in karya Syekh Muhammad ibn ‘Umar Nawawi al-Bantani (Terbitan Darul Fikr, Beirut, Cetakan Pertama, halaman 197). Wallahu ‘alam.
Murianews, Kudus – Seperti diketahui, Ramadan adalah bulan yang ditunggu-tunggu umat Islam. Pada bulan Ramadan ini, umat Islam mendapat kewajiban untuk melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh.
Bulan Ramadan memiliki keutamaan dan keistimewaan yang besar. Semua amal saleh yang dilakukan pada bulan ini akan mendapat balasan lebih banyak dan lebih baik.
Bulan suci Ramadan merupakan sebuah momentum penting bagi umat muslim. Pada bulan ini, semua orang berlomba-lomba untuk berbuat kebaikan dan beribadah kepada Allah SWT.
Baca juga: Raih Kemuliaan Ramadan dengan Lailatul Qadar, Begini Caranya
Ada banyak amalan sunnah yang dilakukan pada bulan Ramadan. Salah satunya adalah melakukan
iktikaf di masjid.
Melansir dari laman NU Online, Rabu (5/4/2023), kendati termasuk amalan sunnah yang bisa dilakukan kapan saja, tetapi khususnya di bulan Ramadan, iktikaf lebih dianjurkan, terutama di sepuluh malam terakhir. Keutamaannya pun sangat besar, terlebih menjadi bagian dari upaya meraih keutamaan lailatul qadar.
Dalam sebuah haditsnya, Rasulullah saw. bahkan menyatakan bahwa iktikaf di sepuluh malam terakhir bagaikan beriktikaf bersama beliau.
مَنِ اعْتَكَفَ مَعِي فَلْيَعْتَكِفَ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ
Artinya: ”Siapa yang ingin beriktikaf bersamaku, maka beriktikaflah pada sepuluh malam terakhir,” (HR Ibnu Hibban).
Secara terminologi, iktikaf adalah berdiam diri di masjid disertai dengan niat. Tujuannya adalah semata beribadah kepada Allah, khususnya ibadah yang biasa dilakukan di masjid.
Demi meraih keutamaan yang lebih besar, seseorang tentu dapat memperbanyak ragam niatnya, seperti berniat mengunjungi dan menghormati masjid sebagai rumah Allah, berzikir dan mendekatkan diri kepada-Nya, mengharap rahmat dan rida-Nya, bermuhasabah, mengingat hari akhir, mendengarkan nasihat dan ilmu-ilmu agama, bergaul dengan orang-orang saleh dan cinta kepada-Nya, memutus segala hal yang dapat melupakan akhirat, dan sebagainya.
Iktikaf dapat dilakukan setiap saat, termasuk pada waktu-waktu yang diharamkan salat. Hukum asalnya adalah sunnah, tapi bisa menjadi wajib apabila dinazarkan. Kemudian, hukumnya bisa menjadi haram bila dilakukan oleh seorang istri atau hamba sahaya tanpa izin, dan menjadi makruh bila dilakukan oleh perempuan yang bertingkah dan mengundang fitnah meski disertai izin.
Melakukannya pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadan, lebih diutamakan utama dibanding pada waktu-waktu yang lain, demi menggapai keutamaan lailatul qadar yang waktunya dirahasiakan Allah.
Karena dirahasiakan itulah, maka siapa pun kita harus senantiasa mengisi malam-malam Ramadan dengan berbagai amaliah, baik wajib maupun sunnah, dengan tujuan agar tidak terlewatkan.
Adapun rukun iktikaf sendiri ada empat: (1) niat, (2) berdiam diri di masjid sekurang-kurangnya selama tumaninah shalat, (3) masjid, dan (4) orang yang beri’tikaf. Kemudian, syarat orang yang beri’tikaf adalah beragama Islam, berakal sehat, dan bebas dari hadas besar. Artinya, tidak sah iktikaf dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi syarat tersebut.
Saat berniat, seorang yang beriktikaf harus menyebutkan status fardhu iktikafnya apabila iktikaf tersebut dinadzarkan. Dan berdasarkan pendapat kuat, seluruh iktikaf itu menjadi fardhu, baik ditentukan lamanya maupun tidak.
Kemudian, macam-macamnya ada tiga: (1) iktikaf mutlak, (2) iktikaf terikat waktu tanpa terus-menerus, (3) iktikaf terikat waktu dan terus-menerus.
Iktikaf mutlak walaupun lama waktunya cukuplah berniat sebagai berikut:
نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ للهِ تَعَالَى
Artinya: ”Aku berniat iktikaf di masjid ini karena Allah.”
Sedangkan iktikaf yang terikat waktu, selama satu bulan misalnya, niatnya adalah sebagai berikut:
نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ يَوْمًا/لَيْلًا كَامِلًا/شَهْرًا لِلهِ تَعَالَى
Artinya: ”Aku berniat iktikaf di masjid ini selama satu hari/satu malam penuh/satu bulan karena Allah.”
نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ شَهْرًا مُتَتَابِعًا
Artinya: ”Aku berniat iktikaf di masjid ini selama satu bulan berturut-turut karena Allah.”
Sementara niat iktikaf yang dinadzarkan adalah sebagai berikut:
نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ فَرْضًا للهِ تَعَالَى
Artinya: ”Aku berniat iktikaf di masjid ini fardhu karena Allah.”
نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ شَهْرًا مُتَتَابِعًا فَرْضًا للهِ تَعَالَى
Artinya: ”Aku berniat iktikaf di masjid ini selama satu bulan berturut-turut fardhu karena Allah.”
Hanya saja, dalam iktikaf mutlak, jika seseorang keluar dari masjid tanpa maksud kembali, kemudian kembali, maka ia harus berniat lagi. Dan iktikaf keduanya dianggap sebagai iktikaf baru.
Berbeda halnya jika ia berniat kembali, baik kembalinya ke masjid semula maupun ke masjid lain, maka niat sebelumnya tidak batal dan tidak perlu niat baru.
Adapun yang membatalkan iktikaf ada sembilan: (1) berhubungan suami-istri, (2) mengeluarkan sperma, (3) mabuk yang disengaja, (4) murtad, (5) haidh, selama waktu iktikaf cukup dalam masa suci biasanya, (6) nifas, (7) keluar tanpa alasan, (8) keluar untuk memenuhi kewajiban yang bisa ditunda, (9) keluar disertai alasan hingga beberapa kali, padahal keluarnya karena keingingan sendiri.
Kapan pun di antara kesembilan perkara itu menimpa seseorang yang beriktikaf maka batallah iktikafnya. Dan batal pula kelangsungan dan kelanggengan iktikaf yang terikat dengan waktu yang berturut-turut. Sehingga seseorang harus mengawalinya dari awal, meskipun iktikaf yang telah dilakukannya bernilai pahala selama yang membatalkannya bukan murtad.
Sedangkan dalam iktikaf yang terikat waktu yang tak berturut-turut, maksud batal di sana adalah waktu batal tidak dihitung sebagai bagian dari iktikaf. Jika ia memulainya lagi, hendaknya memperbaharui niat dan menggabungkannya dengan iktikaf sebelumnya.
Kemudian, dalam iktikaf mutlak, maksud batal di sana hanya terputus kelangsungan iktikafnya saja, sehingga tidak bisa disambungkan dengan iktikaf sebelumnya, tidak pula bisa diperbaharui. Namun, iktikaf itu dianggap sah dan berdiri sendiri-sendiri.
Demikian sekilas tentang iktikaf yang disarikan dari Bâb al-I‘tikâf dalam kitab Nihâyah al-Zain fî Irsyâd al-Mubtadi’in karya Syekh Muhammad ibn ‘Umar Nawawi al-Bantani (Terbitan Darul Fikr, Beirut, Cetakan Pertama, halaman 197). Wallahu ‘alam.