Selasa, 5 Desember 2023

MUI dan NU Jatim Beda Pendapat soal Hukum Pewarna Makanan Karmin

Ali Muntoha
Kamis, 28 September 2023 08:34:00
Kantor MUI pusat. (Istimewa/MUI)

Murianews, Jakarta – Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (LBM-PWNU) Jawa Timur menghukumi pewarna makanan karmin haram dan najis. Namun Majelis Ulama Indonesia (MUI) mempunyai pandangan berbeda soal ini.

MUI mengeluarkan fatwa jika pewarna makanan karmin yang berasal dari serangga Chochineal adalah halal.

Fatwa ini tertuang dalam Fatwa MUI Nomor 33 Tahun 2011 tentang Hukum Pewarna Makanan dan Minuman dari Serangga Cochineal.

Fatwa yang ditandatangani oleh Prof Hasanuddin AF selaku ketua Komisi Fatwa MUI dan KH Asrorun Ni’am Sholeh selaku Sekretaris pada 10 Agustus 2011 itu menetapkan bahwa pewarna makanan dan minuman yang berasal dari serangga cochineal (Pewarna Karmin) hukumnya halal, sepanjang bermanfaat dan tidak membahayakan.

Dukutip Murianews.com Kamis (28/9/2023) dari MUI, serangga cochineal merupakan serangga yang hidup di atas kaktus dan makan pada kelembaban dan nutrisi tanaman. Serangga cochineal juga mempunyai banyak kesamaan dengan belalang dan darahnya tidak mengalir.

Ketua MUI Bidang Fatwa Prof KH Asrorun Niam Sholeh menjelaskan, MUI secara khusus telah melakukan kajian yang cukup panjang terkait dengan pewarna makanan karmin hal ini sejak 2011.

Kajian tersebut dilakukan secara intensif dengan menghadirkan sejumlah ahli yang salah satunya dari Institut Pertanian Bogor (IPB).

”Berdasarkan informasi ahli yang memang secara khusus melakukan penelitian mengenai serangga menjelaskan sifat-sifat cochineal dan mendekati al jarot,” katanya.

Dengan begitu, MUI memutuskan bahwa serangga cochineal bisa digunakan untuk pewarna makanan, obat-obatan, kosmetika dan lain-lain. ”Karena pada hakikatnya dia halal dan tidak membahayakan,” tegas kiai Niam.

Oleh karena itu, Kiai Niam menegaskan, serangga cochineal halal dan boleh digunakan sebagai pewarna makanan sepanjang ada proses pemeriksaan.

Sementara itu, Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI KH Abdul Muiz Ali menyampaikan, penetapan kehalalan produk adalah wewenang dari MUI sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 dan turunannya.

Menurutnya, MUI telah melakukan kajian yang mendalam dari aspek sains maupun fikih. ”Secara jama’i (kolektif) fatwa disepakati hasil sebagaimana termaktub dalam fatwa MUI,” sambungnya.

Ia merespon terkait perbedaan fatwa MUI dengan LBM PWNU Jatim terkait pewarna makanan karmin. Menurutnya, perbedaan hasil ijtihad sangat mungkin terjadi. Bahkan, jika hal tersebut juga dirujuk dari sumber-sumber mu’tamad (terpercaya) dari mazhab-mazhab fikih.

Oleh karena itu emnurutnya, perbedaan hasil fatwa MUI dengan LBM-PWNU Jawa Timur harus dilihat sebagai perbedaan hasil ijtihad mengenai hukum serangga cochineal.

”Masing-masing ada argumen dan hujjah yang mendasari sehingga tidak perlu dipersoalkan berlebihan, dan hasil ijtihad tidak membatalkan satu sama lain,” pungkasnya.

 

Komentar